Studi Kasus Srebrenica Massacre - Sejarah dan Perkembangan Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki manusia karena dirinya manusia.[1]
Konsep HAM membuat perbedaan status seperti ras, jender, dan agama
tidak relevan secara politis dan hukum dan menuntut adanya perlakuan
yang sama tanpa memandang apakah orang yang bersangkutan memenuhi
kewajiban terhadap komunitasnya.[2] Secara konseptual, ada beberapa teori yang berkenaan dengan HAM, yaitu :[3]
- Teori hak-hak alami (natural rights), yang berpandangan bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan tempat.
- Teori positivis (positivist theory), yang berpandangan bahwa hak harus dituliskan dalam hukum yang riil, misalnya melalui konstitusi.
- Teori relativis kultural (cultural relativist theory), teori ini merupakan anti-tesis dari teori hak alami, karena berpandangan bahwa hak yang bersifat universal merupakan pelanggaran terhadap dimensi kultural yang lain, atau dalam kata lain disebut dengan imperialisme kultural.
- Doktrin Marxis (marxist doctrine and human rights), teori ini juga menolak natural rights karena beranggapan bahwa negara atau sifat kolektif yang menjadi sumber segala hak.
Namun
demikian, konsepsi HAM yang berkembang mempunyai hakikat untuk
melindungi kepentingan perseorangan setiap individu. Pada saat ini telah
ada beberapa instrumen yuridik untuk melindungi HAM dalam konteks hukum
internasional. Namun sebelum munculnya instrumen yuridik tersebut,
telah terjadi perdebatan mengenai status individu dalam hukum
internasional.
Dalam
hukum internasional, paradigma negara-sentris telah mengakar sejak
lama. Sehingga ketika muncul ide untuk membuat perlindungan
internasional terhadap HAM, maka pro-kontra terjadi. Beberapa pendapat
mengatakan bahwa hukum internasional hanya mengatur hubungan antar
negara, sehingga individu tidak dapat dianggap sebagai subyek hukum
internasional.[4] Namun menurut Prof. George Scelle, hanya individu yang menjadi subyek hukum internasional.[5]
Pendukung terhadap pendapat ini mengatakan bahwa tujuan akhir dari
pengaturan-pengaturan konvensional adalah individu dan oleh karena itu
individu mendapatkan perlindungan internasional.[6]
Pendapat lain mengatakan bahwa negara sebenarnya adalah entitas yang
abstrak, dan pada dasarnya negara terdiri dari individu-individu,
sehingga sudah sewajarnya individu dapat dikategorikan sebagai subyek
hukum internasional meskipun hanya dalam hal-hal tertentu. Hadirnya
Pengadilan Nuremberg, yang ditujukan untuk menghukum para pelaku
kejahatan perang selama Perang Dunia II, berhasil menegaskan status
individu menjadi subyek hukum internasional, sehingga secara langsung
individu mempunyai hak dan kewajiban dalam hukum internasional.[7]
Untuk
melindungi HAM, instrumen yuridik menjadi sebuah hal yang sangat
diperlukan agar dapat memberikan kepastian hukum dalam melaksanakan
penegakan HAM. Secara historis-empiris, ada beberapa instrumen yuridik
yang muncul untuk melindungi HAM, antara lain :[8]
- Magna Charta 1215, dokumen ini mencatat beberapa hak yang diberikan oleh Raja John dari Inggris kepada beberapa bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka. Naskah ini sekaligus membatasi kekuasaan Raja John itu.
- Bill of Rights 1698, undang-undang yang diterima oleh Parlemen Inggris setelah terjadi perlawanan terhadap Raja James II dalam revolusi tidak berdarah yang dikenal dengan The Glorious Revolution of 1688.
- Declaration des droits de l’homme et du citoyen 1789, naskah yang dicetuskan pada permulaan Revolusi Prancis, sebagai perlawanan terhadap rezim yang lama.
- Declaration of Independence, naskah yang disusun oleh rakyat Amerika pada tahun 1789 dan kemudian menjadi bagian dari Konstitusi Amerika pada tahun 1791
Hak-hak
yang dihasilkan dalam dokumen-dokumen tersebut sangat dipengaruhi o;eh
gagasan Hukum Alam, dan hanya terbatas pada hak-hak yang bersifat
politis seperti persamaan hak, hak atas kebebasan, hak untuk memilih,
dan lainnya.[9]
Namun instrumen yuridik yang lahir pada masa pertengahan tersebut
menjadi dasar bagi pembentukan instrumen yuridik perlindungan HAM
modern. Salah satu tonggak terwujudnya perlindungan HAM modern adalah
empat hak yang dirumuskan Presiden Amerika Serikat, Franklin D.
Roosevelt, yaitu :[10]
- kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech);
- kebebasan beragama (freedom of religion);
- kebebasan dari ketakutan (freedom from fear);
- kebebasan dari kemelaratan (freedom from want).
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjadi organisasi internasional yang memberi
kontribusi besar dalam pembentukan perlindungan HAM internasional
modern. Dokumen yang dihasilkannya, yaitu Universal Declaration of Human Rights
(UDHR) pada tanggal 10 Desember 1948. Instrumen yang dihasilkan oleh
Majelis Umum PBB ini mengambil dasar pemikiran dari konsepsi HAM yang
dikembangkan oleh kebudayaan Barat, dan tidak ada negara anggota PBB
yang melawan hal ini, meskipun Arab Saudi, Afrika Selatan, dan negara
blok Soviet bersikap abstain.[11]
UDHR mengatur mengenai hak-hak yang harus dilindungi, yaitu pasal 3-21
mengenai hak-hak sipil dan politik, pasal 22-27 mengenai hak-hak ekonomi
sosial dan kebudayaan. Meski UDHR mempunyai arti historis penting dan
nilai politik yang tinggi, UDHR tidak mempunyai kekuatan mengikat (not legally binding)
kepada negara-negara anggota PBB. Namun ketentuan-ketentuan dalam UDHR
telah banyak dimasukkan kedalam legislasi nasional masing-masing negara
anggota PBB, sehingga prinsip-prinsip dalam UDHR dapat dianggap sebagai customary international law.
Negara-negara
anggota PBB membutuhkan waktu 18 tahun setelah munculnya UDHR untuk
menyepakati cara memberikan kekuatan hukum pada prinsip-prinsip yang
terkandung dalam UDHR.[12] Pada mulanya, negara-negara anggota PBB merencanakan untuk membuat instrumen tunggal yang disebut dengan “International Bill of Rights”, namun terjadi perubahan sehingga pada tahun 1951 disepakati untuk membuat dua kovenan internasional.[13]
Perubahan kesepakatan dari satu instrumen tunggal menjadi dua kovenan
internasional disebabkan karena pertentangan yang terjadi antara superpower blocs yang tidak dapat menyepakati apa saja yang harus dicantumkan dalam sebuah instrumen tunggal.[14]
Negara-negara barat yang menganut demokrasi-liberal menginginkan
penekanan terhadap hak-hak individu yang telah ada sejak lama (hak sipil
dan politik), sedangkan negara-negara Marxis menginginkan penekanan
terhadap hak-hak kelompok atau hak-hak kolektif, terutama yang bersifat
ekonomi dan sosial.[15] Pada tahun 1966 berhasil dibuat International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR), dan International Convention on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR). Kedua kovenan ini mempunyai kekuatan mengikat kepada negara-negara anggota PBB pada tahun 1976, dan mengatur tentang:
- ICCPR
- Hak untuk hidup
- Pelarangan penyiksaan
- Pelarangan perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan
- Pelarangan perbudakan
- Kedudukan yang sama dalam hukum
- Kebebasan berpikir dan beragama
- Kebebasan berkumpul
- Kebebasan berekspresi
- ICESCR
- Hak untuk bekerja
- Hak untuk mendapatkan lingkungan kerja yang baik
- Hak untuk bersindikat
- Hak untuk mendapatkan pendidikan
- Hak untuk mendapatkan jaminan sosial
Setelah
disepakatinya dua kovenan internasional tersebut, kemudian muncul
instrumen hukum lain yang lahir setelah ICCPR dan ICESCR yang
substansinya mengatur berbagai hal :
1. Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide
2. Convention relating to the Status of Refugees
3. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination
4. Convention on the Elimination of Discrimination against Women
Munculnya
instrumen-instrumen tersebut, ditujukan untuk mencegah terjadinya
pelanggaran-pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights). Pada saat ini, pelanggaran HAM berat diadili oleh International Criminal Court (ICC), yang didirikan berdasarkan Rome Statute 1998.
Dalam Statuta tersebut, istilah pelanggaran HAM berat memang tidak
ditemukan. Namun penyebutannya mempunyai padanan yaitu “the most serious crimes of concern to the international community as a whole”.[16] Pengertian ini mencakup genosida (genocide); kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity); kejahatan perang (war crimes); dan agresi (agression)
Sejarah dan Perkembangan Genosida
Istilah genosida pertama kali dikemukakan oleh Raphael Lemkin pada tahun 1933.[17] Genosida berasal dari bahasa Yunani γένος atau genos yang artinya keluarga, suku atau ras, dan bahasa Latin occido yang artinya pembunuhan massal.[18]
Munculnya genosida sebagai salah satu kejahatan, didasarkan pada
kejadian pembunuhan massal terhadap orang-orang Assyria di Irak pada 11
Agustus 1933.[19]
Sedangkan pembunuhan massal yang dianggap sebagai kejadian genosida
yang pertama kali di dunia adalah pembantaian terhadap orang-orang
Armenia oleh Turki pada tahun 1915.[20]
Lebih dari satu juta orang diperkirakan meninggal dalam kejadian
tersebut. Dalam konteks hukum internasional, genosida pertama kali
digunakan dalam tuntutan terhadap pelaku kejahatan perang di Pengadilan
Nuremberg. Meskipun Piagam Nuremberg tidak menggunakan istilah genosida
sebagai salah satu prinsipnya.
Menurut Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (CPPCG), genosida didefinisikan sebagai :
“…any of the following acts committed with intent to destroy, in whole or i[21]n part, a national, ethnical, racial or religious group, as such:
(a) Killing members of the group;
(b) Causing serious bodily or mental harm to members of the group;
(c)
Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to
bring about its physical destruction in whole or in part;
(d) Imposing measures intended to prevent births within the group;
(e) Forcibly transferring children of the group to another group.”
Menurut
beberapa pakar, pengecualian terhadap kelompok sosial dan politik,
telah membuat definisi terhadap genosida menjadi sempit. Chalk dan
Jonassohn mendefinisikan genosida sebagai :[22]
“…form
of one-sided mass killing in which a state or other authority intends
to destroy a group, as that group and membership in it are defined by
the perpetrator.”
Sedangkan R.J. Rummel memberikan pengertian terhadap genosida yang lebih luas. Menurutnya, genosida mempunyai tiga pengertian :[23]
- Pengertian biasa, yaitu pembunuhan oleh pemerintah terhadap orang-orang tertentu karena alasan kebangsaan, etnis, ras, atau keanggotaan dalam agama tertentu;
- Pengertian yuridis, yaitu definisi genosida yang terdapat dalam CPPCG.
- Pengertian umum, yaitu genosida yang memiliki arti mirip dengan pengertian biasa, namun memasukkan pembunuhan berencanas oleh pemerintah terhadap oposisi politik.
Beberapa kejadian selain pembunuhan massal terhadap bangsa Assyria dan Armenia, yang dapat dianggap sebagai genosida adalah :[24] [25]
- pembunuhan massal terhadap etnis Kurdi oleh Turki di wilayah Dersim pada tahun 1937-1938;
- Pembunuhan massal terhadap suku Hutu oleh suku Tutsi di Burundi 1972
- Pembunuhan massal oleh Khmer Merah di Kamboja pada pertengahan 1970
- Kebijakan melawan Kurdi yang dikeluarkan oleh Anfal pada tahun 1988.
- Okupasi Indonesia terhadap Timor Timur selama tahun 1975 sampai 1999.
- Pembunuhan massal Sabra dan Shatila yang terjadi pada September 1982, ketika terjadi konflik bersenjata antara milisi Lebanon yang didukung oleh Israel melawan Palestina.
- Invasi Uni Soviet terhadap Afghanistan selama tahun 1979-1989.
Kejadian-kejadian diatas tidak pernah diproses secara hukum, baik melalui pengadilan nasional ataupun International Court of Justice
(ICJ). Namun dalam perkembangannya, ada beberapa kasus yang kemudian
diadili oleh badan peradilan internasional baik permanen maupun adhoc, yaitu :
- International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR). Pengadilan ad hoc ini didirikan oleh Dewan Keamanan PBB untuk mengadili pelaku pembunuhan massal terhadap suku Tutsi dan Hutu moderat oleh Hutu pada perang saudara di Rwanda. Selama sekitar 100 hari pada tahun 1994, sekitar 937.000 suku Tutsi dan Hutu moderat dibunuh oleh suku Hutu. Sampai sejauh ini ICTR telah menyelesaikan 21 pengadilan dan menjatuhkan tuntutan kepada 28 orang. Pengadilan pertama di ICTR dilangsungkan pada tahun 1997, dengan tertuduh Jean-Paul Akayesu.[26]
- Konflik bersaudara di Darfur (Sudan), yang diadili oleh ICC.
- Perang Saudara di Yugoslavia, yang diadili oleh International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY), dan khusus untuk kejadian Srebrenica Massacre atau yang lebih dikenal dengan Bosnian Genocide sempat menjadi perkara di ICJ pada tahun 2007.
Bosnian War
Konflik
di Bosnia-Herzegovina, yang berlangsung selama April 1992 – November
1995, telah menjadi sebuah “contoh” bentuk pembersihan etnis yang pernah
terjadi di dunia.[27] Konflik ini adalah kejadian paling brutal yang pernah dialami oleh Eropa semenjak berakhirnya Perang Dunia II[28]
yang melibatkan beberapa pihak, antara lain Bosnia-Herzegovina,
Republik Federal Yugoslavia (yang kemudian dikenal dengan
Serbia-Montenegro), dan Kroasia. Banyak silang pendapat yang terjadi
untuk menentukan perang apa yang terjadi di wilayah Balkan tersebut.
Apakah konflik yang terjadi merupakan perang saudara, atau agresi. Etnis
Bosniak dan Croat banyak mengatakan bahwa perang tersebut adalah agresi
yang dilakukan oleh militer Serbia dan Kroasia. Sedangkan pihak Serbia
sendiri menganggap konflik tersebut adalah perang saudara.
Srebrenica Massacre terjadi pada Juli 1995. Sekitar 8.000 pria dari etnis Bosniak terbunuh oleh Army of Republika Sprska
(VRS), yang pada saat itu dipimpin oleh Ratko Mladic. 18 orang yang
disangka sebagai pelaku dalam genosida di Srebrenica ini, termasuk Ratko
Mladic dan Radovan Karadzic, diadili oleh ICTY. Sedangkan Bosnia
Herzegovina mengajukan perkara terhadap Serbia-Montenegro di ICJ, untuk
meminta pertanggungjawaban Serbia-Montenegro (state’s responsibility) atas kejadian genosida yang terjadi di Srebrenica.
Bosnia-Herzegovina v. Serbia-Montenegro
Sengketa
yang diajukan oleh Bosnia-Herzegovina atas pembunuhan massal di
Srebrenica adalah kasus pertama yang diterima oleh ICJ yang berkenaan
dengan kejadian genosida selama berdirinya ICJ. Kasus yang masuk ke ICJ
ini menjadi sebuah yurisprudensi penting untuk hukum internasional
semenjak pelaksanaan Pengadilan Nuremberg pada tahun 1946. Tuntutan
Bosnia-Herzegovina terhadap Serbia-Montenegro menjadi sebuah pembuktian
dari penerapan, kemampuan, dan validitas ICJ dalam menegakkan CPPCG
untuk saat ini dan masa depan.
Kasus
ini juga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru. Salah satunya, apakah
negara dapat diminta pertanggungjawaban dalam kasus genosida ? Apabila
negara memang dapat diminta pertanggungjawaban dalam hal ini, maka akan
muncul kesalahan bersama yang bertentangan dengan konsep
pertanggungjawaban indivudual seperti yang telah dikenal dalam
pelanggaran HAM berat.
Dalam
putusannya, ICJ menetapkan bahwa Serbia tidak melakukan atau berencana
melakukan genosida yang terjadi di Srebrenica, lalu Serbia juga tidak
terlibat dalam tindakan genosida yang terjadi di Srebrenica. Namun ICJ
memutuskan bahwa Serbia telah melanggar kewajiban internasional yang
telah tercantum dalam CPPCG, yaitu untuk mencegah terjadinya genosida di
wilayah negaranya.
Putusan
yang dikeluarkan oleh ICJ menegaskan bahwa pembunuhan massal yang
dilakukan oleh VRS adalah bentuk genosida. Penegasan ini juga
menggagalkan pendapat dari pihak Bosnia-Herzegovina bahwa genosida tidak
hanya terjadi di Srebrenica, namun di seluruh wilayah
Bosnia-Herzegovina.
Pelanggaran
terhadap kewajiban internasional yang dilakukan oleh Serbia bukan hanya
terhadap ketentuan yang telah ditetapkan oleh CPPCG, namun juga dari
ketentuan tambahan yang telah dikeluarkan oleh ICJ pada bulan April dan
September 1993. Dalam ketentuan tersebut, tercantum perintah dari ICJ
terhadap Yugoslavia untuk “melakukan segala tindakan sesuai dengan
kewenangannya untuk mencegah terjadinya genosida dan memastikan bahwa
tindakan tersebut tidak dilakukan oleh kelompok militer ataupun
paramiliter yang beroperasi di bawah pemerintahan yang berwenang.”[29]
Hakim ICJ memutuskan bahwa selain melanggar ketentuan tersebut, Serbia
tidak berusaha melakukan apapun untuk mencegah terjadinya genosida di
Srebrenica pada Juli 1995, padahal Serbia seharusnya menyadari bahwa
tindakan yang terjadi di Srebrenica akan menimbulkan genosida.
Dalam memberikan putusan ini, ICJ bersandar pada kasus Nicaragua v. United States[30] yang
menyatakan bahwa Amerika Serikat terbukti tidak bertanggungjawab atas
kegiatan yang dilakukan oleh kelompok gerilyawan, meskipun tindakan
mereka (AS) diketahui secara luas oleh publik.
Selanjutnya, beberapa penegasan yang dilakukan oleh ICJ adalah :
- Berdasarkan bukti yang jelas bahwa pembunuhan yang terjadi secara massif di tempat-tempat tertentu dan kamp-kamp konsentrasi di wilayah Bosnia-Herzegovina dilakukan selama terjadinya konflik (Perang Bosnia).[31]
- Orang-orang yang menjadi bagian dari kelompok yang dilindungi di Srebrenica telah menjadi korban perlakuan yang tidak pantas, pemukulan, pemerkosaan, penyiksaan yang menyebabkan cacat fisik dan mental yang serius, selama berada di kamp konsentrasi.[32]
Pengadilan
menerima fakta bahwa militer Serbia melakukan tindakan-tindakan
tersebut, namun belum ada bukti yang menguatkan bahwa tindakan yang
dilakukan oleh Serbia dimaksudkan untuk menghilangkan sebagian atau
seluruh etnis Bosniak.
Presiden
ICJ, Rosalyn Higgins, menyatakan bahwa meskipun terdapat bukti-bukti
yang menguatkan terjadinya kejahatan perang atau kejahatan terhadap
kemanusiaan di Bosnia, ICJ tidak memiliki yurisdiksi dalam menentukan
apakah kejadian tersebut merupakan genosida atau tidak, karena kasus ini
berkenaan dengan pengertian terhadap genosida secara hukum yang
memiliki pengertian sempit dan tidak dapat diperluas.
ICJ
kemudian memutuskan bahwa semenjak Montenegro mendeklarasikan
kemerdekaannya pada Mei 2006, maka Serbia sebagai penerus dari
Serbia-Montenegro, menjadi satu-satunya pihak sebagai tergugat. Namun
dalam kejadian-kejadian yang berlangsung sebelumnya, menjadi tanggung
jawab Serbia dan Montenegro.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Penerbit Alumni, Bandung, 2003.
Cassese, Antonio, Hak Asasi Manusia di Dunia yang Berubah, Penerjemah: A. Rahman Zainudin, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005.
Howard, Rhoda E., HAM Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, Penerjemah: Nughara Katjasungkana, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2000.
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2005.
Malanczuk, Peter, Akehurst’s Modern Introduction to International Law, Seventh Revised Edition, Routledge, London, 1997.
M. Afif Hasbullah, Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998
Noortmann, Math, Countermeasures in International Law Five Salient Cases, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005.
Pearson, Frederic S. & J. Martin Rochester, International Relations The Global Condition in the Late Twentieth Century, McGraw-Hill, United States, 1992.
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, CV Utomo, Bandung, 2004.
Ryan, Stephen, United Nations and International Politics, Macmillan Press, London, 2000.
Instrumen Hukum
UU no. 39 th. 1999 tentang HAM
UU no. 26 th. 2000 tentang Pengadilan HAM
International Convention on Civil and Political Rights
International Convention on Economic, Social, and Cultural Rights
Universal Declaration on Human Rights.
Statute of International Court of Justice
Rome Statute of International Criminal Court.
Situs Internet
http://www.crimesofwar.org/
http://en.wikipedia.org/
http://www.un.org/
DAFTAR SINGKATAN
CPPCG Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide
HAM Hak Asasi Manusia
ICC International Criminal Court
ICCPR International Convention on Civil and Political Rights
ICESCR International Convention on Economic, Social, and Cultural Rights
ICJ International Court of Justice
ICTR International Criminal Tribunal for Rwanda
ICTY International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
UDHR Universal Declaration of Human Rights
VRS Army of Republika Sprska
[1] Rhoda E. Howard, HAM Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, Terjemahan: Nughara Katjasungkana, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2000, hlm. 1
[2] Ibid.
[3] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 2-3.
[4] Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Penerbit Alumni, Bandung, 2003, hlm. 591.
[5] Claude-Albert Colliad, Institutions des relations internationales, huiteme edition, Dalloz, 1985, p.355. Sebagaimana dikutip dalam Boer Mauna, op.cit., hlm. 592.
[6] Boer Mauna, op.cit., hlm. 592.
[7] Frederic S. Pearson & J. Martin Rochester, International Relations The Global Condition in the Late Twentieth Century, McGraw-Hill, United States, 1992, hlm. 332.
[8] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm. 120.
[9] Ibid, hlm. 121.
[10] Ibid.
[11] Stephen Ryan, United Nations and International Politics, Macmillan Press, London, 2000, hlm. 140.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, CV Utomo, Bandung, 2004, hlm.3
[17] Diane F. Orentlicher, Genocide, http://www.crimesofwar.org, akses pada tanggal 24 September 2007, pukul 18.12 WIB.
[18] Wikipedia, Genocide, http://en.wikipedia.org/wiki/Genocide, akses pada tanggal 24 September 2007, pukul 19.27 WIB.
[19] Ibid.
[20] Diane F. Orentlicher, Genocide, loc.cit.
[21] Wikipedia, Genocide, loc.cit.
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Diane F. Orentlicher, Genocide, loc.cit.
[25] Wikipedia, Genocides in History, http://en.wikipedia.org/wiki/Genocides_in_history, akses pada tanggal 26 September 2007, pukul 10.19 WIB.
[26] Wikipedia, International Criminal Tribunal for Rwanda, http://en.wikipedia.org/wiki/International_Criminal_Tribunal_for_Rwanda, akses pada tanggal 26 November 2006, pukul 23.26 WIB
[27] Florence Hartmann, Bosnia, http://www.crimesofwar.org/, akses pada tanggal 24 September 2007, pukul 18.12 WIB
[28] Ibid.
[29] Teks asli berbunyi : “to
do everything in its power to prevent the crimes of genocide and to
make sure that such crimes are not committed by military or paramilitary
formations operating under its control or with its support.”
[30] Kasus di ICJ tentang Military and Paramilitary Activities In and Against Nicaragua, 27 Juni 1986. lih. Math Noortman, Countermeasure in International Law Five Salient Cases, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005.
[31] Teks asli : “it
is established by overwhelming evidence that massive killings in
specific areas and detention camps throughout the territory of
Bosnia-Herzegovina were perpetrated during the conflict’ and that ‘the
victims were in large majority members of the protected group, the
Bosniaks, which suggests that they may have been systematically targeted
by the killings.”
[32] Teks asli : “it
has been established by fully conclusive evidence that members of the
protected group were systematically victims of massive mistreatment,
beatings, rape and torture causing serious bodily and mental harm,
during the conflict and, in particular, in the detention camps.”
No comments: