Apa pengertian dan Ruang Lingkup Ulumul Hadits?
Sumber-mu : Masih soal Pendidikan Agama Islam yaitu mengenai Pengertian (Definisi) dan Ruang lingkup Ulumul Hadits. Jika berminat baca juga Hadits membawa anak kecil ketika shalat. Dan dibawah ini adalah pembahasan mengenai Definisi Ulumul Hadits dan Ruang lingkup ulumul hadits.
A. Pengertian secara Etimologi dan Terminologi
a.1 Pengertian Hadis dari sudut Etimologi
Secara etimologi al-hadis seringkali  dimaknai dengan pengertian baru (al jadid) dan berita (al
 khabar). Kedua arti yang menyertai istilah hadis ini dapat dipergunakan
 secara bersamaan  tergantung pada konteks kalimat yang dikandungnya. 
Kata hadis berasal dari bahasa arab, yakni al hadis, jama’nya 
al ahadis, al hidsan dan al hudsan. Dari segi bahasa kata ini memiliki 
banyak arti, di antaranya :1) al Jadid ( baru ) lawan dari al qadim ( 
lama ) dan 2) al khabar (kabar atau berita). Secara umum kata al hadis 
senantiasa mengandung pengertian ‘berita’ atau ‘informasi’ baik pengertian tersurat maupun yang tersirat.  Seperti kesaksian ayat berikut ini:
Artinya : “Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar“
Kata ‘bi-hadis-in’ pada ayat tersebut bermakna ucapan, 
ungkapan dan berita apa saja yang sekiranya bisa menandingi ucapan, 
ungkapan dan berita yang terdapat di dalam al qur’an.
Artinya: “Allah telah menurunkan ‘Perkataan yang paling baik’ 
(yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang*, 
gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian
 menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah 
petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang 
dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada 
baginya seorang pemimpinpun”
Kalimat ahsanal hadis dalam ayat tersebut sekalipun konteksnya 
merujuk pada makna al qur’an, akan tetapi secara substansial mengandung 
pengertian ungkapan, ucapan dan berita apa saja yang berasal dari Allah SWT.
 Di sisi lain ada alasan yang cukup rasional mengenai penggunaan kosakata al hadis untuk
 memaknai segala hal yang berasal dari Nabi. Ibnu Hajar al Asqalaniy 
mensinyalir pemilihan istilah itu lebih disebabkan oleh adanya al Qur’an yang dalam studi ilmu-ilmu keislaman dianggap sebagai sesuatu yang bersifat Qadim. Sementara al hadis sendiri secara substansi dan esensial memiliki konotasi  baru [al jadid]. Sehingga para ulama nampaknya berusaha untuk memperbandingkan materi al hadis yang baru [Jadid] dengan materi al qur’an yang qadim. Jumhur muhadisin  sepakat untuk menghindari pengunaan istilah al Qur’an dengan hadis Allah (
 حديث الله  )  karena  materi  istilah  al hadis  memiliki  muatan  
makna   baru. Sehingga untuk menyebut firman Allah yang terangkum dalam 
al qur’an itu, mereka lebih terbiasa memakai istilah kalam Allah (  كلام الله  ). Keengganan pemakaian istilah itu tentunya cukup beralasan, mengingat kalam Allah itu qadim dan bukannya baru, sebagaimana
 sifat yang melekat pada materi al hadis. Meskipun sebenarnya al Qur’an 
sendiri tidaklah begitu alergi untuk menggunakan istilah al hadis 
terhadap wahyu-wahyu yang diturunkan Malaikat Jibril kepada Nabi 
Muhammad. Bukti pembenar terhadap pernyataan ini adalah bahwa ayat al 
qur’an mengulang sebanyak 23 kali penggunaan lafaz al hadis,
Sungguhpun demikian penggunaan al hadis untuk menamai segala hal yang
 berpautan dengan diri Nabi itu  sebenarnya secara historis bisa 
ditemukan. Dalam hal ini sesungguhnya imam Bukhari telah merekam 
peristiwa penggunan istilah al hadis oleh Nabi dalam salah satu halaman 
kitab shahihnya, yakni dalam kitab ar riqaq hadis no.51. Bahkan Nabi sendirilah yang memperkenalkan istilah al hadis itu sendiri (Shalih,1988:5)
a.2 Pengertian Hadis dari sudut Terminologi dan Ikhtilaf Jumhur 
 Muhadisin dalam mendefinisikan Hadis.
Al Hadis sendiri secara terminologi seringkali  didifinisikan sebagai :
كل ما أثر عن الرسول صلى الله عليه و سلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقية أو خلقية أو سيرة سواء كان ذلك قبل البعثة أم بعدها
artinya :”Segala sesuatu yang disandarkan atau dinukilkan dari 
Nabi Muhammad saw baik itu beru perkataan, perbuatan, penetapan sifat 
-baik jasmani maupun rukhani-atau segal perilaku Nabi secara keseluruhan
 apakah sebelum menjadi Rasul atau sesudah jadi Rasul” 
atau sebagaimana yang didefinisikan oleh Dr. Nuruddin ‘Atr:
كل ما اضيف الى النبى صلى الله عليه و سلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقي أو خلقي أو اضيف الى الصحابى او التابعى
Artinya : segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat jasmani ataupun ruhani termasuk juga segala sesuatu yang disandarkan kepada shahabat dan Tabiin ( ‘Atr, 1994:9)
Memperhatikan definisi di atas akan didapatkan suatu kesimpulan bahwa
 berita apa saja yang menyangkut kepribadian  nabi dengan tanpa  
memperhatikan   apakah  berita itu menginformasikan peristiwa 
pra-nubuwwah ataupun pasca nubuwwah, maka informasi itu bisa disebut 
sebagai al hadis. Demikian pula terhadap seluruh aktifitas nabi baik 
yang mengindikasikan hukum atau tidak, kebiasaan perilaku hidup beliau 
sebagai manusia biasa, dan seluruh sifat dan bentuk jasmani Nabi dapat 
dimasukkan dalam pengertian al hadis.
Ada satu fenomena menarik menyangkut penggunaan istilah hadis di 
atas. Sebagian pengkaji dan pemerhati  studi  ulumul hadis   merasakan  
adanya satu keganjilan  berkaitan dengan redaksi terminologi hadis di 
atas. Ketika materi hadis benar-benar dicermati maka akan didapatkan 
suatu kesimpulan bahwa tidak semua hadis Nabi itu mendokumentasikan dan 
mendiskripsikan suatu informasi yang benar- benar berbicara tentang 
Nabi.
Kadangkala sesuatu yang dianggap sebagai hadis Nabi, justru 
menginformasikan suatu peristiwa yang menyangkut sahabat Nabi. Dengan 
kata lain “hadis” tersebut lebih merupakan preseden yang ditinggalkan 
sahabat ketimbang sesuatu yang layak disebut sebagai hadis Nabi. Bahkan 
suatu peristiwa yang menyangkut pertikaian sahabat tentang proses 
pemilihan khalifah (  الأستخلاف) sepeninggal nabi antara Bani Hasyim, 
Anshar dan Muhajirin, ditulis oleh para ulama dalam kitab-kitab hadis 
karangan mereka. Betapapun para ulama itu juga menyadari bahwa 
sesungguhnya peristiwa itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan 
aksi-aksi yang muncul dari pribadi Nabi. Akan tetapi ini adalah suatu 
fakta yang tidak bisa diingkari kebenarannya.
Oleh karena itu sebagian ulama melakukan redefinisi terhadap materi 
hadis dengan mengusulkan suatu terma baru yang lebih bisa meliputi 
aspek-aspek yang tidak bisa dijangkau oleh definisi sebelumnya. Salah 
satu definisi yang mereka ajukan adalah bahwa hadis itu disamping suatu 
berita yang menyajikan tentang hal ihwal Nabi, maka ia juga termasuk 
memuat preseden-preseden yang ditinggalkan oleh para sahabat dan 
tabi’in. Sehingga umat islam tidak perlu membuang sebagian halaman dari 
karya–karya para ulama yang tidak memiliki relevansinya dengan perihal 
Nabi Muhammad.
Sementara itu as Sunnah seringkali dianggap memiliki 
kesamaan arti dengan al hadis. Sungguhpun secara etimologi penggunaan 
istilah as sunnah untuk menyebut suatu informasi tentang nabi amat 
mungkin untuk diperdebatkan. Hanya saja secara umum umat islam sudah 
terbiasa untuk memaknai as sunnah sebagai sejajar dengan al hadis.
Mahmud Syaltut (l966;499) menyebutkan pengertian   as sunah   menurut
 etimologi disertai adanya kesaksian al qur’an tentang penggunaan makna 
as sunnah. Menurutnya :
السنة كلمة قديمة معروفة فى اللغة العربية  بمعنى الطريقة المعتادة حسنة
 كا نت أم سيئة و قد وردت فى القران الكريم فى مواضع متعددة بمعنى العادة 
المستمرة فقال تعالى : قد خلت من قبلكم سنن و قال عزوجل: السنة من قد 
أرسلنا قبلك من رسلنا وقال سبحانه : قد مضت سنة الأولين وقوله عز وجل : ولن
 تجد لسنة الله تبديلا”
Artinya : 
As Sunnah adalah ungkapan lama yang sudah terkenal dalam bahasa 
arab yang memiliki arti ‘jalan yang biasa dilalui’ (perangai, metode, 
cara, perilaku dll)  tanpa ada perbedaan kualitasnya baik atau jelek. 
Dan al qur’an sendiri telah sering menggunakan istilah as Sunnah ini 
dalam berbagai tempat dengan arti ‘kebiasaan yang terjadi secara 
berulangkali’. Sebagaimana firman Allah : Sungguh telah berlalu 
kebiasaan-kebiasaan orang sebelum kamu…juga sebagaimana terdapat dalam 
ayat lainnya: sungguh telah berlalu kebiasaan orang-orang sebelumnya dan
 firmanNya lagi : tiada lagi pengganti ‘ketentuan/kebiasaan yang telah 
diberlakukan Allah. 
Menyimak ungkapan yang digunakan oleh Mahmud Syaltut di atas, dapat 
difahami bahwa pada dasarnya as sunnah adalah suatu adat kebiasaan, 
suatu pola tingkah laku yang secara berulang-ulang dikerjakan oleh satu 
generasi tertentu dalam masyarakat Arab lama. Adat kebiasaan dan pola 
tingkah laku tersebut tidak pasti berupa nilai-nilai yang sifatnya 
positif akan tetapi setiap bentuk perilaku –baik yang positif maupun 
negatif- selama itu dikerjakan secara berulang-ulang, maka ia disebut 
sebagai as sunnah.     Adapun kalimat yang digunakan untuk memaknai 
setiap perilaku yang dikerjakan secara berulang-ulang itu telah mereka 
kenal sejak lama dengan istilah as sunah. Al qur’an sendiri menggunakan ungkapan as sunnah secara berulang-ulang sebanyak 16 kali, masing-masing memiliki makna peraturan yang sudah mapan, model kehidupan dan garis sikap (Azami,1977:20).
Ulama  muhadisin menganggap as sunnah adalah satu hal yang 
identik dengan al hadis. Mereka tidak mendapatkan adanya unsur yang bisa
 membedakan antara pengertian as sunnah dengan al hadis. Sehingga jika  
jumhur muhadisin menggunakan istilah as sunnah dalam karya-karya yang 
mereka munculkan, maka makna yang dimaksud adalah  al hadis itu sendiri,
 yakni suatu informasi yang berasal dari nabi baik berupa  perkataan, 
perbuatan, taqrir, sifat jasmani maupun ruhani  baik qabla bi’sah ( sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat jadi Rasul ) maupun ba’da bi’sah (
 sesudah beliau diangkat menjadi rasulullah ). Mereka tidak melakukan 
perincian apakah hadis itu harus  berkenaan dengan hukum, politik,  
ekonomi, sejarah, sosio-humanistik ataupun sosio-religius. Bagi mereka 
yang bisa membedakan pengertian antara hadis-sunnah dan  informasi yang 
bukan hadis-sunnah,  adalah semata-mata penyandaran informasi itu. Jika 
suatu informasi berujung pada informasi tentang nabi, maka berita itu 
bisa disebut sebagai as sunnah ataupun al hadis. Begitu  pula sebaliknya
 jika sebuah informasi tidak berbicara tentang Nabi, sahabat ataupun 
tabi’in, maka fakta semacam itu tidak bisa disebut sebagai al hadis atau
 as sunnah.
Amat berlainan dengan pendapat yang berkembang di kalangan jumhur Usuliyyin.
 Mereka menganggap bahwa antara as sunnah dengan al hadis adalah dua 
istilah yang jelas berbeda. Menurut mereka as sunnah adalah segala 
informasi yang berasal dari nabi yang bukan termasuk wahyu (al qur’an) 
baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan yang patut untuk 
dijadikan sebagai dalil syar’iy.  Suatu dalil yang bisa digunakan 
sebagai alasan penetapan hukum-hukum syar’iy.  Jadi as sunnah tidaklah 
sekedar sepotong sejarah yang melukiskan tentang aksi-aksi nabi belaka, 
tetapi lebih dari itu as sunnah adalah suatu informasi tentang nabi yang
 memiliki fungsi sebagai hujjah  atau dengan kata lain as sunnah 
haruslah informasi yang memiliki unsur-unsur yang bernilai argumentatif.
 Adapun istilah al hadis bagi golongan ushuliyyun adalah informasi yang 
hanya dikenakan terhadap “ucapan Nabi” saja –dengan kata lain hadis 
dikalangan mereka adalah Sunnah Qauliyah.
Sementara itu di kalangan Jumhur Fuqaha, as sunnah 
didefinisikan sebagai  suatu nilai syari’ah yang tidak diwajibkan dan 
tidak diharamkan oleh agama. Ia adalah suatu perintah agama yang 
dianjurkan oleh syari’ untuk dilakukan, hanya saja tidak diikuti suatu  
 celaan, cercaan dan ancaman siksa bagi manusia yang tidak bersedia 
untuk melaksanakannya.  Dengan kata lain perintah yang dikandung dalam 
materi  “sunnah” tidak secara imperatif harus diwujudkan. Nilai yang 
dikandung as sunah bagi mereka adalah adanya unsur kecintaan umat kepada
 Nabi Muhammad saw. Manusia yang senantiasa menghiasi seluruh amal 
ibadahnya dengan praktek-praktek yang bernilai sunah berarti itu 
merupakan bukti bagi kecintaan umat terhadap Nabi Muhammad saw
Perbedaan ta’rif yang dirumuskan oleh tiga kelompok ulama itu, 
sesungguhnya berawal dari cara pandang yang berbeda dan kepentingan 
tujuan ilmiah yang berbeda pula. Jumhur Muhadisin merumuskan difinisi as
 sunnah berdasarkan kualitas pribadi Nabi   muhammad SAW sebagai contoh 
yang ideal  (  الأسوة الحسنة    )   sebagai pribadi yang memiliki suri 
tauladan yang umat diharapkan patuh dan tunduk tanpa reserve. Sehingga 
ucapan dan segala tingkah laku Nabi harus diikuti secara total tanpa  
memerinci tindakan mana dari perilaku Nabi yang mengandung perintah 
wajib, haram, rukun, syarat dan sebagainya. Praktek Nabi seharusnya di 
baca sebagai suatu totalitas yang menghendaki ketaatan yang sempurna, 
melihat posisi nabi sebagai rasul, wakil Allah yang menuntun umat islam 
pada kebenaran hakiki. Oleh karena itu tindakan manapun dari nabi, 
pastilah mengandung nilai kebenaran dan umat islam patut untuk 
sungguh-sungguh mencontoh perilaku beliau tersebut. Berangkat dari 
pemahaman seperti inilah jumhur muhadisin menyusun formula as sunnah 
sebagaimana yang telah didefinisikan di depan.
Ulama Ushuliyyun justru menempuh cara yang berbeda di ketika mambangun postulat dasar bagi  as sunnah. Posisi  Nabi sebagai musyari’
 dijadikan titik sentral proses penyusunan ta’rif as sunnah di kalangan 
mereka. Nabi dipandang sebagai satu-satunya pribadi yang berkuasa untuk 
menentukan dan membentuk hukum syar’iy dengan  di bingkai semangat al 
Qur’an dan atas petunjuk serta bimbingan wahyu yang senantiasa ada dalam
 kendali Allah SWT. Setiap tindakan Nabi memiliki kemungkinan 
potensi-potensi yang berasal dari unsur basyariyyah dan ilahiyyah. Tindakan yang berasal dari unsur ilahiyyah
 mengindikasikan adanya suatu perintah untuk meniru dan mencontoh 
perilaku nabi sebagai bentuk kecintaan dan ketaatan pada beliau. 
Sementara potensi basyariyyah Nabi Muhammad tentunya tidak menjadi kewajiban bagi umat islam untuk menirunya.
Mahmud syaltut (l966:508) menyebutkan ada tiga  ciri yang bisa 
dikenali untuk mendeteksi mana diantara hadis nabi yang patut dijadikan 
dalil atau hanya sekedar sebuah hadis yang berupa rekaman kehidupan nabi
 sebagai manusia biasa. Beliau mengatakan bahwa di antara ciri yang bisa
 membedakan antara hadis nabi yang patut jadi dalil dan tidak adalah :
احدها ما سبيله سبيل الحاجة البشرية  كلأكل والشرب 
والنوم والمشى والتزاور و المصالحة  بين  شخصين  بالطرق  العرفية و 
الشفاعة  و المساومة  فى  البيع  و الشرأ
ثانيها ما سبيله سبيل التجارب و العادة  الشخصية  أو  الإجتماعية  كالذى  ورد فى شئون الزراعة والطب وطول اللباس وقصره
ثالثها ما سبيله التدبير الإنسانى أخذا من الظروف 
الخاصة  كتوزيع الجيوش على المواقع الحربية و تنظيم الصفوف  فى الموقعة 
الواحدة والكمون والكر والفر واختيار أماكن النزول وما الى ذلك مما يعتمد 
على وحي الظروف و الدرابة الخاصة  
 Berdasarkan paragraf di atas dapat disimpulkan 
bahwa hadis Nabi yang memiliki kesan dan konteks perilaku beliau sebagai
 manusia biasa, seperti makan, minum, tidur bukan termasuk sunnah yang 
secara ketat harus diikuti sebagai teladan (uswah hasanah). Begitu juga 
dengan kebiasaan yang secara naluri terdapat pada pribadi seseorang atau
 sekelompok manusia pada umumnya seperti cara-cara mengolah lahan 
pertanian, metode pengobatan dan model pakaian umpamanya, maka ia bukan 
termasuk sunnah. Termasuk juga kebisaan manusia dalam kehidupan 
sosiologi kemasyarakatan seperti mobilisasi pasukan perang, strategi 
dalam peperangan, kebijakan dalam suksesi politik dan lain-lain, semua 
itu tergantung pada situasi dan kondisi yang berkembang. Sesuatu 
perilaku bernilai sunnah bila ada nilai atau unsure Ilahiyyah di 
dalamnya, namun apabila unsue basyariyah lebih dominant, maka bisa 
dipastikan perilaku/kebiasaan itu bukan termasuk bagian dari sunnah. 
 Adapun untuk mengetahui  mana tindakan Nabi yang berasal dari unsur ilahiyyah dan unsur basyariyyah,
 salah satu metoda yang digunakan untuk maksud tersebut adalah dengan 
meneliti dan mengembangkan  studi  terhadap  hadis-hadisnya. Hadis Nabi 
yang memiliki ‘muatan hukum’ dan menggunakan sighat yang 
bermakna melarang dan memerintah sesuatu,  ditengarai  oleh jumhur 
ushuliyyun termasuk hadis-hadis yang mengandung nilai “sunah”.
Tengara ini dimunculkan kelompok ushuliyyun dengan satu dasar 
argumentasi bahwa  dari jenis hadis yang seperti inilah sebuah hadis 
mengandung suatu  dalil atau hujjah yang bernilai syar’iy. Terhadap 
hadis-hadis yang hanya menyajikan informasi tentang Nabi tanpa 
mengandung  nilai syari’ah  (dalil)  sama sekali, tidak dimasukkan dalam
 katagori sunnah. Sifat Nabi merupakan contoh yang cukup signifikan 
untuk membuktikan pernyataan ini. Segala sifat dan keadaan emosional 
nabi  tidak memiliki imbas hukum sama sekali. Amatlah sulit untuk 
menilai apakah amarah, kejengkelan, kebencian dan ketidakpedulian nabi 
pada sesuatu, menunjukkan nilai keharaman pada sesuatu tersebut.
Hadis Nabi yang mengindikasikan tentang perilaku beliau yang bersifat alamiah dan basyariyyah
 seperti kantuk , warna kulit, tinggi-rendah jasmani beliau dan hal-hal 
bersifat jasmaniyah lainnya, tentunya tidak berimplikasi pada hukum. 
Jika sunnah diasumsikan  sebagai contoh ideal dan teladan yang harus 
didikuti secara ketat bagi umat islam tentunya itu akan menyulitkan. 
Setiap manusia memiliki kondisi fisik yang berlainan dan punya 
sifat-sifat emosional yang pada tingkat ekspresi juga berbeda. Keharusan
 dan kewajiban meniru secara ketat terhadap kondisi –kondisi yang 
dimiliki oleh Nabi adalah hal yang mustahil disamping mengingkari 
kenyataan juga  tidak rasional. Oleh karena itu Sunnah yang ideal – 
dimana umat islam dituntut untuk mengikutinya- adalah hadis-hadis Nabi 
yang mengandung muatan perintah dan larangan untuk mengerjakan dan tidak
 mengerjakan sesuatu. Maka parameter yang digunakan untuk mengetahui 
suatu perintah dan larangan nabi adalah dengan meneliti hadis-hadis nabi
 yang pantas menjadi dalil dan yang tidak patut  menjadi dalil. Hadis 
yang mengandung dalil maka ia masuk katagori as sunnah.
Sementara itu jumhur  fuqaha berdasarkan disiplin ilmu yang 
dikuasainya memandang as sunnah merupakan satu bagian dari apa yang 
dikalangan fuqaha disebut sebagai  “Panca Hukum”  atau  (الأحكام 
الخمسة.) Istilah ini lebih merupakan istilah tekhnis fiqh yang 
dikembangkan fuqaha untuk membagi setiap perbuatan manusia dalam lima 
kategori. Semua tindak tanduk umat islam haruslah dibingkai dalam lima 
kategori tersebut. Sehingga menjadi jelas bagi umat islam mana perbuatan
 yang wajib, haram dan yang sebaiknya dikerjakan dengan merujuk pada 
panca hukum yang telah disistemisasikan   oleh jumhur fuqaha dalam 
karya-karya yang mereka terbitkan.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa perbedaan ta’rif yang terjadi 
dikalangan ulama muhadisin, ushuliyyin dan fuqaha lebih disebabkan oleh 
sudut pandang yang berbeda di dalam melihat sosok Nabi Suci, Muhammad 
SAW. Jumhur muhadisin melihat pribadi  nabi sebagai sosok rasul -utusan 
Allah- penyampai pesan-pesan keagamaan dan merupakan pemangku amanah 
ilahiyah yang telah ditentukan oleh Allah. Sementara ulama ushuliyyun 
cenderung melihat nabi sebagai pemegang otorita hukum  (  الشارع   ) 
yang mendapatkan wewenang dari syari´ yang sesungguhnya yakni Allah SWT.
 Oleh karena itu hanya tindakan nabi yang berasal dari kapasitas beliau 
sebagai pemegang otorita hukum itulah, yang patut untuk dianggap sebagai
 as sunah. Berbeda halnya dengan jumhur fuqaha mereka tidak melihat 
pribadi nabi sebagai tolok ukurnya, akan tetapi mereka lebih 
memperhatikan pada obyek hukum perbuatan manusia itu sendiri. Terhadap 
seluruh perbuatan manusia itu, perlu diadakan pemilahan antara perbuatan
 yang boleh, haram dan harus dilakukan. Sementara as sunah merupakan 
salah satu bentuk pengklasifikasian perbuatan hukum manusia dalam islam.
Menilik hadis nabi yang berbunyi :
من سن سنة حسنة  فله أجر و أجر من عمل بها الى يوم القيامة و من سن سنة سيئة فعليه وزر و وزر من عمل بها الى يوم القيامة
artinya:”Barangsiapa (memperkenalkan) sunnah yang baik maka 
baginya pahala dan begitu pula ia akan mendapatkan pahala dari orang 
yang mengerjakanannya sampai pad ahari kiamat. Dan barangsiapa 
memperkenalkan sebuah sunnah yang buruk maka baginya dosa dan dosa itu 
ditanggungnya dari orang yang ikut mengerjakannya ampai akhir kiamat”
Maka bisa diambil suatu   kesimpulan  bahwa praktek-praktek aktual yang bisa dianggap sebagai sunnah, tidaklah
 melulu berupa apa yang disandarkan kepada Nabi saja. Akan tetapi apa 
saja perbuatan dan pola tingkah laku yang secara aktual dilaksanakan 
secara ketat dan berulang-ulang oleh suatu masyarakat tertentu bisa 
disebut sebagai as sunnah. Fazlurrahman (1983: 40) berdasarkan 
ucapan al ‘Auza’i yang terlibat perdebatan sengit dengan Abu Yusuf 
tentang pembagian tanah hasil pampasan perang, menafsirkan  bahwa semua 
orang mempunyai peluang untuk menciptakan suatu sunnah-nya sendiri hanya saja dari sekian banyak sunnah, hanya sunnah Nabi yang patut untuk diikuti dan diteladani.
Senada dengan Fazlurrahman, Ahmad Hassan (1994 : 91) menyimpulkan 
perdebatan sengit yang terjadi diantara Abu Yusuf dengan al Auza’i itu, 
pada akhirnya memunculkan kesan bahwa orang lain dapat saja menciptakan 
sebuah sunnah yang baru. Menurut Abu Yusuf perkecualian terhadap 
aturan-aturan yang bersifat umum dapat disebut sebagai as sunnah. Maka 
dimungkinkan bagi setiap umat islam untuk menciptakan sunnahnya sendiri 
menurut apa yang ia anggap baik dan memang diperlukan. As sunah tidaklah
 merupakan satu-satunya hak prerogatif yang melekat hanya pada diri 
nabi.
Sesungguhnya istilah as sunah secara tak langsung memiliki arti 
praktek yang bersifat normatif, atau model perilaku, terlepas dari 
apakah perilaku itu bercirikan kebaikan atau malah justru sebaliknya, 
mengandung hal-hal yang bermuatan kejelekan, dari seseorang individu, 
kelompok atau masyarakat tertentu. Arti inilah yang bisa dimunculkan 
berdasarkan pemberitaan hadis nabi di atas. Jadi, pendapat yang 
menyatakan bahwa istilah as sunah hanya bisa digunakan terhadap preseden
 yang berasal hanya dari nabi saja tidak dapat dibenarkan. Satu istilah 
tekhnis lainnya kadang sempat muncul dalam kamus para cendekiawan muslim
 klasik menyangkut penggunaan arti sunnah, yakni sunatullah. 
Ahmad Hassan (1970:76) sambil merujuk pada kandungan al qur’an  surat ke
 17 ayat 77 dan surat ke 33 ayat 62, mensinyalir bahwa sunatullah adalah
 suatu cara dimana Allah bertindak terhadap generasi-generasi masa lalu.
 Suatu tindakan yang berindikasikan pada tradisi dan adat istiadat lama 
bangsa arab, Serta cara Allah bertindak terhadap cara kerja alam semesta
 sehingga alam bisa bekerja dalam wilayah yang sifatnya naluri belaka.
Penulis-penulis barat utamanya kaum orientalis, telah menciptakan
 gambaran semu dan menyesatkan dengan mengatakan bahwa sunnah rasul tak 
lebih hanyalah nama lain bagi sunah bangsa arab pra-islam. Bahkan lebih 
dari itu konsep sunah rasul adalah konsep  baru yang pada generasi awal 
masyarakat islam, ia hanyalah preseden dari suatu kelompok masyarakat 
tertentu, terutama sekali dari kalangan bangsawan, pembesar istana, kaum
 cedik pandai  dan tokoh-tokoh keagamaan-politik yang mendapatkan 
pengakuan dalam sistem masyarakat patrialkhal bangsa arab. Oleh karena 
itu sunah berarti sekedar praktek yang dijalankan oleh umat islam lama 
dan telah berlaku secara  mapan dan ajeg ditaati oleh masyarakat 
pendukungnya dengan ketat.
Bagaimanapun ragam-kontradiksi yang berkembang di ketika  menyoroti 
istilah sunah, umat islam tidak bergeser sedikitpun pada pengertian 
semula bahwa yang dimaksud dengan sunnah adalah segala hal yang memiliki
 sangkut paut dengan Nabi Suci islam, dan menjadi kewajiban bagi umat 
islam untuk mempelajarinya, mengikutinya dan menerjemahkanya dalam 
kehidupan yang nyata.
Satu istilah lainnya yang sering dianggap oleh para ulama memiliki kesamaan makna dengan al hadis adalah al khabar.
 Betapapun tinjauan filologi bisa membantah pendapat para ulama 
tersebut, tak kurang seluruh jumhur muhadisin menerima pendapat yang 
sudah mapan itu. Sehingga tidak diketemukan adanya perselisihan yang 
marak berkaitan dengan penggunaan istilah tekhnis al khabar untuk 
dijadikan padanan bagi istilah al hadis. Satu hal yang menjadi catatan 
penting, bahwa hanya ulama khurasan-lah yang memiliki  pengertian yang 
berbeda menyangkut penggunaan istilah al khabar ini. Menurut  mereka al 
khabar lebih tepat digunakan untuk menunjuk pada berita-berita dan 
preseden yang berasal dari para sahabat,  sementara terhadap tradisi 
yang diwariskan oleh generasi tabi’in bisa digunakan istilah al Atsar. Sebagian
 ulama membedakan pengertian al hadis dengan al  khabar dengan alasan 
bahwa tidak setiap khabar itu bernilai hadis, berbeda halnya dengan al 
hadis, karena setiap  al hadis pastilah khabar. 
 Perbedaan lain yang berkaitan dengan penggunaan istilah as 
sunah dan al hadis    bagi jumhur muhadisin adalah jika kata-kata  al 
hadis disebut secara mutlaq maka pengertian   yang     dituju  adalah   
segala   sesuatu  yang berasal dari nabi semenjak beliau di angkat 
sebagai seorang rasul (ba’da al bi’tsah) baik berupa perkataan, 
perbuatan maupun taqrirnya. Dengan demikian pengertian as sunah 
sesunguhnya lebih luas dan umum daripada as hadis karena bagi muhadisin 
as sunah menyangkut segala peristiwa  yang menyangkut pribadi beliau 
baik qabla maupun ba’da bi’tsah.
Sementara al hadis dikalangan jumhur ushuliyyun dimaknai sebagai as sunah qauliyah tidak meliputi perbuatan dan ketetapan beliau. Jumhur ushuliyyun tidak memasukan sifat nabi
 dalam difinisi as sunah dan al hadis sebagaimana pengertian yang 
dikemukakan oleh golongan muhadisin. Sikap ini diambil oleh mereka 
dengan satu alasan bahwa terhadap sikap yang ditunjukkan oleh nabi itu, 
umat islam tidak dapat menarik kesimpulan apakah karakter emosional nabi
 bisa memiliki imbas hukum atau tidak. Sangatlah sulit untuk menarik 
benang merah keridlaan dan kemarahan nabi itu menunjukkan kebolehan dan 
larangan beliau terhadap sesuatu yang menimbulkan emosi beliau tersebut.
 Oleh karena itu mereka tidak memasukkan sifat nabi sebagai satu unsur 
dari as sunah dan al hadis.
B. Ruang Lingkup Pembahasan Ulumul Hadis:
b.1 Sanad dan Pembahasannya
Sanad secara etimologi berarti :ماارتفع من الأرض 
artinya :bagian bumi yang paling menonjol. Sebagian ulama mengartikan : 
المعتمد  (sandaran, tempat bersandar, yang menjadi sandaran). Bentuk 
jama’nya adalah isnad, adapun musnad  artinya adalah segala sesuatu yang
 disandarkan kepada yang lain. Secara terminologi sanad bisa didefinisikan sebagai
الطريقة الموصل الى المتن (jalan yang menyampaikan kepada matan hadis)
 atau secara sederhana dapat diartikan bahwa sanad adalah rentetan, 
deretan atau silsilah nama perawi yang jalin menjalin membentuk satu 
mata rantai yang mengantarkan pembacanya pada matan atau isi hadis nabi.
 Sanad itu sesungguhnya bermaterikan nama-nama, kuniyah, laqab-laqab dan
 gelaran lainnya yang dimiliki oleh seorang perawi yang merupakan sumber
 periwayatan dan penyandaran sebuah hadis. Sanad adalah kumpulan orang 
yang berfungsi  sebagai mediator penyampaian dan periwayatan hadis nabi.
 Ketiadaan sanad berakibat pada ditolaknya sebuah berita yang dianggap 
dan berasal dari nabi. Istilah lain yang semakna dan sering 
dipergilirkan penggunaannya dalam konteks yang sama adalah at thoriqoh, dan al Wajh. 
Studi tentang sanad sesungguhnya bisa dimulai semenjak masa-masa awal
 perkembangan kebudayaan dan peradaban bangsa arab jahiliyyah lama. 
Nasiruddin Asad (1962:255) mengatakan pada penggunaannya yang paling 
awal,  sanad lebih sering dipakai untuk periwayatan syair-syair yang 
dimiliki oleh mereka. Satu kebiasaan yang umum  berlaku di kalangan 
bangsa arab adalah di adakannya perlombaan pembacaan syair yang mereka 
ciptakan atau sayir-syair yang mereka dapatkan secara turun temurun dari
 generasi sebelumnya. Bagi  pemenang perlombaan pembacaan syair itu, 
atau jika syair-syair itu mendapatkan perhatian yang sangat besar 
dikalangan bangsa arab, maka hal itu merupakan suatu kebanggaan ruhani 
dan serta merta meningkatkan derajat sosial pemenangnya. Salah satu 
diantara unsur penilaian kebagusan dan keunggulan syair-syair tersebut 
adalah ketersambungan pemilik syair tersebut sampai pada generasi yang 
jauh di atasnya, terlebih jika nama-nama itu adalah pribadi-pribadi yang
 memiliki status sosial yang tinggi dikalangan masyarakat arab 
jahiliyah. Syair yang, berasal dari panglima perang, kepala suku, tabib,
 kahin dan jabatan sosial yang bermartabat  lainnya meningkatkan 
popularitas dan secara tak langsung memberi nilai surplus pada kualitas 
syair tersebut.
Inilah awal mula penggunaan sanad dalam masyarakat arab pra islam. 
Kebiasaan ini tidak disia-siakan oleh umat islam dan pada generasi 
selanjutnya ia dipakai sebagai alat ukur penilaian sahih dan tidaknya 
sebuah hadis. Dengan kata lain tradisi sanad dalam  masyarakat 
jahiliyyah telah diintrodusir secara besar-besaran  oleh ulama 
muhadisin, dan pada gilirannya dianggap sebagai  suatu ciri yang inheren
 dalam masyarakat islam,  bahwa tidak ada satu kebudayaanpun di dunia 
ini yang memiliki kemampuan yang sama dalam kekayaan dan ketelitian 
mencatat nama-nama orang dalam sejarah masa lalu.
Pada generasi nabi, sanad tidaklah mendapat perhatian yang sama 
besarnya sebagaimana berlaku pada masa-masa generasi berikutnya.       
Kesahihan hadis pada masa kenabian tidaklah terlalu sulit untuk 
membuktikannya. Hal ini mengingat keberadaan nabi masih berada 
ditengah-tengah lingkungan para sahabat. Sehingga jika ada sebuah berita
 yang berkaitan dengan  pribadi nabi, sahabat bisa langsung melakukan 
konfirmasi kepada beliau tanpa mengalami kesulitan.
Semenjak maraknya kegiatan pemalsuan hadis yang dipicu oleh  adanya 
pertikaian politik dan sentimen keagamaan yang berkembang disebagian 
fikiran umat islam, maka para ulama mulai mengembangkan sikap 
berhati-hati di dalam meriwayatkan dan menerima sebuah hadis. Pertikaian
 politik yang berimbas pada perpecahan di bidang agama mendorong 
sebagian pengikut hawa  nafsu untuk menciptakan hujah-hujah palsu dan 
dasar argumen buatan yang dimaksudkan untuk memperkuat dan melegalkan 
apa-apa yang menjadi pendapat mereka. Sesungguhnya pertikaian yang 
terjadi dikalangan mereka itu, memberi inspirasi bagi mereka untuk 
mencari keterangan agama yang bisa membenarkan ajaran-ajaran yang 
dikembangkan dan diyakini kebenarannya oleh masing-masing kelompok yang 
sedang bertikai.
Dampak serius yang ditimbulkan akibat pertikaian itu merembes pada 
pemalsuan besar-besaran hadis nabi. Pada akhirnya ulama merasa perlu 
untuk membendung kejahatan para pemalsu hadis itu dengan mengembangkan 
suatu metodologi ilmiah di dalam menerima dan menilai kesahihan sebuah 
hadis. Semenjak itu sebuah berita tentang hadis tidak begitu saja bisa 
diterima kecuali setelah diketahui nama orang yang menjadi perantara 
hadis tersebut atau bisa dilacak dari mana sumber hadis itu berasal.
Proses pelacakan terhadap rentetan sanad atau sumber periwayatan itu 
pada akhirnya mewujud pada apa yang kini di kenal di dalam istilah 
teknis ulumul hadis sebagai as sanad.  Satu hal yang bisa 
dicatat bahwa al qur’an tidak menyediakan cukup dalil yang bisa 
digunakan untuk mendukung pendapat yang mereka pegangi itu. Memang 
benar, beberapa pengikut dari kelompok yang bertikai itu, mencoba untuk 
menafsirkan dan mena’wilkan beberapa ayat al qur’an yang sesuai dengan  
aqidah dan ajaran mereka sendiri. Hanya saja ta’wil yang mereka lakukan 
terhadap  ayat-ayat itu dilakukan dengan tanpa  memperhatikan 
qaida-qaidah pena’wilan yang berlaku dalam disiplin ilmu tafsir yang 
telah disepakati oleh para ulama sebagaimana yang telah diwarisi oleh 
generasi sekarang ini. Pena’wilan itu sama sekali jauh dari nilai 
kebenaran dan amat lemah dihadapan prinsip-prinsip metodologi ilmiah 
bagi sebuah upaya pena’wilan sebuah teks. Sudah barang tentu pena’wilan 
yang dibuat itu tidak mendapatkan sokongan dan pembenaran dari para 
ulama di bidangnya. Sehingga pada akhirnya ta’wilan itu hilang dengan 
sendirinya. Oleh karenanya mereka mencoba beralih pada bidang hadis yang
 memberi peluang yang cukup terbuka untuk menguatkan pendapat 
kelompoknya di hadapan pendapat kelompok musuhnya. Mulailah mereka 
membuat hadis palsu yang mereka sandarkan kepada Nabi Muhamad yang 
bermaterikan hujah palsu demi kepentingan kelompoknya. Di sinilah awal 
mula  motivasi dan pendorong utama munculnya hadis palsu dan yang 
mendesak  para ulama untuk menciptakan metode penelitian terhadap hadis 
nabi. Kegiatan para ulama itu pada akhirnya memunculkan satu istilah 
baru yang pada masa sekarang di kenal dengan ungkapan as sanad.
b.2 Rawi dan Pembahasannya
 Adapun Rawi maksudnya adalah orang yang 
memperoleh atau menerima  hadis dengan cara yang sah dan kemudian 
menyampaikan atau meriwayatkan hadis itu kepada orang lain dengan cara 
atau metode yang sah pula. Metode menerima dan menyampaikan hadis itu 
dalam kajian para jumhur muhadisin biasa dikenal dengan istilah : Tahammulu wa ’Ada’ al Hadis.
 Ilmu ini menjelaskan tentang kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang 
perawi agar hadis yang diterimanya dan kemudian ketika dia harus 
meriwayatkan hadis itu memiliki derajat kesahihan di kalangan para ulama
 jumhur muhadisin. Rawi yang berada dalam generasi sahabat disebut 
sebagai rawi awal dan rawi yang menceritakan, menyampaikan dan menulis  
hadis dalam sebuah kitab hadis tertentu di sebut sebagai rawi akhir. 
Rawi akhir ini biasanya adalah orang atau ulama yang menuliskan semua 
hadis yang pernah diterimanya dalam sebuah kitab disertai penyebutan 
sanad-sanadnya.
b.3 Matan dan Pembahasannya 
Matan dari segi bahasa artinya membelah, mengeluarkan, dan mengikat. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan Matan adalah
 makna-makna ( ucapan, perbuatan dan keputusan) yang terkandung dalam 
hadis Nabi, atau sebagaimana pendapat ulama berikut ini matan adalah :
ما انتهى اليه السند من الكلام فهو نفس الحديث الذي ذكر الإسناد له
(perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya)
Dengan kata lain matan adalah susunan redaksi kata-kata yang 
menginformasikan tentang ucapan, kelakuan dan ketetapan serta sifat dari
 pribadi Nabi. Kadangkala apa yang dimaksud dengan matan tidak melulu 
berupa berita tentang nabi, acapkali ucapan  seorang sahabat, bahkan 
preseden yang berasal dari tabi’inpun sering menghiasi kandungan matan 
hadis. Nampaknya sebagian ulama tidak merasa keberatan untuk memasukkan 
berita yang berasal dari  sahabat dan tabi’in termasuk bagian yang 
inheren dari al hadis.
b.4 Mukharrij dan Pembahasannya 
Istilah lain yang erat kaitannya dengan materi al hadis adalah al Mukharij. Al
 Mukharij biasa diartikan sebagai  orang yang mengumpulkan dan 
meriwayatkan serta menuliskan hadis-hadis yang di perolehnya dalam 
sebuah catatan-catatan tertentu atau di dalam buku yang diterbitkan oleh
 si mukharij tersebut. Penulisan hadis-hadis yang diriwayatkannya itu 
tentunya disertai adanya sejumlah nama yang menjadi jalur 
periwayatannya. Artinya hadis tersebut haruslah memuat nama-nama perawi 
yang menjadi sanad (Transmiter) antara dirinya dengan guru-guru yang 
meriwayatkan hadis padanya. Pengabaian ketentuan ini berakibat pada 
kurangnya perhatian para ulama terhadap kitab yang dikarangnya, dan 
dampak yang lebih lanjut kitab hadisnya tidak menjadi ajang kajian dan 
pegangan bagi umat islam dan ulama yang berniat mengkajinya.
Imam Bukhary dan Imam Muslim merupakan dua contoh nama bagi ulama 
yang pantas disebut sebagai mukharrij. Hal ini didasarkan pada suatu 
kenyataan bahwa kedua ulama ini memiliki suatu kitab hadis tersendiri 
hasil dari upaya dan kerja kerasnya di dalam meneliti dan mengkritisi 
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh orang lain kepada kedua beliau 
tersebut. Masing-masing dari kedua imam ini memiliki proses periwayatan 
yang berbeda dan penggunaan nama atau sanad yang berbeda pula di dalam 
mendukung keabsahan hadis-hadis yang mereka riwayatkan. Pada akhirnya 
semua hadis yang mereka riwayatkan itu didokumentasikan dalam sebuah 
karya yang dalam catatan sejarah islam karya mereka termasuk karya yang 
monumental dan tiada yang dapat menandinginya sepanjang sejarah hingga 
kini. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Sanad adalah rangkaian nama
 perawi hadis yang sambung menyambung semenjak dari awal rawi (sahabat) 
sampai kepada akhir rawi (Mukharrij). Sanad dalam pengertian yang 
sederhana dapat diartikan dengan suatu jalan yang mengantarkan kita 
kepada matan hadis.
Sementara itu dalam kajian ulumul hadis sanad-sanad yang ada itu 
memiliki derajat yang berbeda-beda, ada yang mencapai derajat tinggi dan
 ada pula yang mempunyai derajat rendah. Tinggi dan rendahnya derajat 
sanad sangat berpengaruh terhadap kualitas pengklasifikasian sebuah 
hadis. Tinggi rendahnya sanad sangat bergantung pada tingkat kekuatan 
hafalan (dhabith) sang perawi dan keadilan perawi dalam silsilah 
sanadnya. Bila sanadnya termasuk ashah al asanid, maka hadisnya bisa 
dijadikan sebagai hujjah ( hadis yang maqbul). Sebaliknya bila sanadnya 
termasuk adl’af al asanid, maka dengan sendirinya hadis yang 
diriwayatkan oleh jalur periwayatan tersebut tidak bisa dijadikan 
sebagai hujah ( hadis mardud ).
Para muhadisin membagi tingkatan sanad menjadi tiga kelompok :
1.  Ashah al asanid (sanad-sanad yang yang paling shahih)
2. Ahsan al asanid (sanad-sanad yang paling hasan)
3. Adl’af al asanid (sanad-sanad yang paling lemah)
Berdasarkan kategori dan pengklasifikasian sanad tersebut, maka 
orang-orang yang termasuk dalam kategori ashah al asanid hadisnya bisa 
dipastikan untuk diterima menjadi hujjah agama. Sementara untuk perawi 
yang masuk dalam kategori ahsan al asanid, hadisnya bisa 
dijadikan hujah meskipun ia tidak termasuk dalam kategori atau peringkat
 pertama. Adapun untuk kelompok yang ketiga, maka sebagian besar 
periwayatan mereka ditolak.Para ahli hadis sangat hati-hati dalam 
menerima suatu hadis kecuali apabila mengenal dari siapa mereka menerima
 setelah benar-benar dapat dipercaya. Pada umumnya riwayat dari golongan
 sahabat tidak disyaratkan apa-apa untuk diterima periwayatannya. Akan 
tetapi mereka pun sangat hati-hati dalam menerima hadis . Pada masa Abu 
bakar r.a. dan Umar r.a. periwayatan hadis diawasi secara hati-hati dan 
tidak akan diterima jika tidak disaksikan kebenarannya oleh seorang 
lain. Ali bin Abu Thalib tidak menerima hadis sebelum yang 
meriwayatkannya disumpah. Meminta seorang saksi kepada perawi, bukanlah 
merupakan keharusan dan hanya merupakan jalan untuk menguatkan hati 
dalam menerima yang berisikan itu. Jika dirasa tak perlu meminta saksi 
atau sumpah para perawi, mereka pun menerima periwayatannya. Adapun 
meminta seseorang saksi atau menyeluruh perawi untuk bersumpah untuk 
membenarkan riwayatnya, tidak dipandang sebagai suatu undang-undang umum
 diterima atau tidaknya periwayatan hadis. Yang diperlukan dalam 
menerima hadis adalah adanya kepercayaan penuh kepada perawi. Jika 
sewaktu-waktu ragu tentang riwayatnya, maka perlu didatangkan 
saksi/keterangan.
Kedudukan sanad dalam hadis sangat penting, karena hadis yang 
diperoleh/ diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. 
Dengan sanad suatu periwayatan hadis dapat diketahui mana yang dapat 
diterima atau ditolak dan mana hadis yang sahih atau tidak, untuk 
diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum
 Islam.
Berikut ini akan dijelaskan secara skematis batang tubuh hadis agar 
memudahkan kita di dalam memahami apa yang dinamakan sanad, rawi dan 
Mukharrij tersebut.  Pemuatan skema tidak dimaksudkan  untuk menentukan 
 kualitas hadis apakah ia bernilai sebagai hadis shahih ataukah hadis 
hasan ataupun hadis dlaif. Pembuatan skema sekali lagi hanya ditujukan 
untuk hal-hal yang berkaitan dengan upaya memperjelas posisi as sanad, ar rawi dan al mukharrij.
SKEMA SANAD HADIS
النبى
| 
 | |||
| 
 | 
| 
 | 
| 
 | ||||||
| 
 | ||||||
| 
 | 
Demikianlah pembahasan tentang perbedaan antara hadis, sunnah khabar 
dan atsar serta beberapa istilah yang berkaitan dengan hadis, seperti 
sanad, isnad, rawi dan matan. Berikutnya akan dibahas tentang   
kedudukan hadis dalam ajaran agama islam kaitannya dengan dasar-dasar 
penetapan hukum  islam.
Sumber : http://assyiddatiy.wordpress.com/2010/11/25/u-h-pengertian-dan-ruang-lingkup-ulumul-hadits/ 
 
No comments: