Apa pengertian dan Ruang Lingkup Ulumul Hadits?
Sumber-mu : Masih soal Pendidikan Agama Islam yaitu mengenai Pengertian (Definisi) dan Ruang lingkup Ulumul Hadits. Jika berminat baca juga Hadits membawa anak kecil ketika shalat. Dan dibawah ini adalah pembahasan mengenai Definisi Ulumul Hadits dan Ruang lingkup ulumul hadits.
A. Pengertian secara Etimologi dan Terminologi
a.1 Pengertian Hadis dari sudut Etimologi
Secara etimologi al-hadis seringkali dimaknai dengan pengertian baru (al jadid) dan berita (al
khabar). Kedua arti yang menyertai istilah hadis ini dapat dipergunakan
secara bersamaan tergantung pada konteks kalimat yang dikandungnya.
Kata hadis berasal dari bahasa arab, yakni al hadis, jama’nya
al ahadis, al hidsan dan al hudsan. Dari segi bahasa kata ini memiliki
banyak arti, di antaranya :1) al Jadid ( baru ) lawan dari al qadim (
lama ) dan 2) al khabar (kabar atau berita). Secara umum kata al hadis
senantiasa mengandung pengertian ‘berita’ atau ‘informasi’ baik pengertian tersurat maupun yang tersirat. Seperti kesaksian ayat berikut ini:
Artinya : “Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar“
Kata ‘bi-hadis-in’ pada ayat tersebut bermakna ucapan,
ungkapan dan berita apa saja yang sekiranya bisa menandingi ucapan,
ungkapan dan berita yang terdapat di dalam al qur’an.
Artinya: “Allah telah menurunkan ‘Perkataan yang paling baik’
(yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang*,
gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian
menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah
petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang
dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada
baginya seorang pemimpinpun”
Kalimat ahsanal hadis dalam ayat tersebut sekalipun konteksnya
merujuk pada makna al qur’an, akan tetapi secara substansial mengandung
pengertian ungkapan, ucapan dan berita apa saja yang berasal dari Allah SWT.
Di sisi lain ada alasan yang cukup rasional mengenai penggunaan kosakata al hadis untuk
memaknai segala hal yang berasal dari Nabi. Ibnu Hajar al Asqalaniy
mensinyalir pemilihan istilah itu lebih disebabkan oleh adanya al Qur’an yang dalam studi ilmu-ilmu keislaman dianggap sebagai sesuatu yang bersifat Qadim. Sementara al hadis sendiri secara substansi dan esensial memiliki konotasi baru [al jadid]. Sehingga para ulama nampaknya berusaha untuk memperbandingkan materi al hadis yang baru [Jadid] dengan materi al qur’an yang qadim. Jumhur muhadisin sepakat untuk menghindari pengunaan istilah al Qur’an dengan hadis Allah (
حديث الله ) karena materi istilah al hadis memiliki muatan
makna baru. Sehingga untuk menyebut firman Allah yang terangkum dalam
al qur’an itu, mereka lebih terbiasa memakai istilah kalam Allah ( كلام الله ). Keengganan pemakaian istilah itu tentunya cukup beralasan, mengingat kalam Allah itu qadim dan bukannya baru, sebagaimana
sifat yang melekat pada materi al hadis. Meskipun sebenarnya al Qur’an
sendiri tidaklah begitu alergi untuk menggunakan istilah al hadis
terhadap wahyu-wahyu yang diturunkan Malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad. Bukti pembenar terhadap pernyataan ini adalah bahwa ayat al
qur’an mengulang sebanyak 23 kali penggunaan lafaz al hadis,
Sungguhpun demikian penggunaan al hadis untuk menamai segala hal yang
berpautan dengan diri Nabi itu sebenarnya secara historis bisa
ditemukan. Dalam hal ini sesungguhnya imam Bukhari telah merekam
peristiwa penggunan istilah al hadis oleh Nabi dalam salah satu halaman
kitab shahihnya, yakni dalam kitab ar riqaq hadis no.51. Bahkan Nabi sendirilah yang memperkenalkan istilah al hadis itu sendiri (Shalih,1988:5)
a.2 Pengertian Hadis dari sudut Terminologi dan Ikhtilaf Jumhur
Muhadisin dalam mendefinisikan Hadis.
Al Hadis sendiri secara terminologi seringkali didifinisikan sebagai :
كل ما أثر عن الرسول صلى الله عليه و سلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقية أو خلقية أو سيرة سواء كان ذلك قبل البعثة أم بعدها
artinya :”Segala sesuatu yang disandarkan atau dinukilkan dari
Nabi Muhammad saw baik itu beru perkataan, perbuatan, penetapan sifat
-baik jasmani maupun rukhani-atau segal perilaku Nabi secara keseluruhan
apakah sebelum menjadi Rasul atau sesudah jadi Rasul”
atau sebagaimana yang didefinisikan oleh Dr. Nuruddin ‘Atr:
كل ما اضيف الى النبى صلى الله عليه و سلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقي أو خلقي أو اضيف الى الصحابى او التابعى
Artinya : segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat jasmani ataupun ruhani termasuk juga segala sesuatu yang disandarkan kepada shahabat dan Tabiin ( ‘Atr, 1994:9)
Memperhatikan definisi di atas akan didapatkan suatu kesimpulan bahwa
berita apa saja yang menyangkut kepribadian nabi dengan tanpa
memperhatikan apakah berita itu menginformasikan peristiwa
pra-nubuwwah ataupun pasca nubuwwah, maka informasi itu bisa disebut
sebagai al hadis. Demikian pula terhadap seluruh aktifitas nabi baik
yang mengindikasikan hukum atau tidak, kebiasaan perilaku hidup beliau
sebagai manusia biasa, dan seluruh sifat dan bentuk jasmani Nabi dapat
dimasukkan dalam pengertian al hadis.
Ada satu fenomena menarik menyangkut penggunaan istilah hadis di
atas. Sebagian pengkaji dan pemerhati studi ulumul hadis merasakan
adanya satu keganjilan berkaitan dengan redaksi terminologi hadis di
atas. Ketika materi hadis benar-benar dicermati maka akan didapatkan
suatu kesimpulan bahwa tidak semua hadis Nabi itu mendokumentasikan dan
mendiskripsikan suatu informasi yang benar- benar berbicara tentang
Nabi.
Kadangkala sesuatu yang dianggap sebagai hadis Nabi, justru
menginformasikan suatu peristiwa yang menyangkut sahabat Nabi. Dengan
kata lain “hadis” tersebut lebih merupakan preseden yang ditinggalkan
sahabat ketimbang sesuatu yang layak disebut sebagai hadis Nabi. Bahkan
suatu peristiwa yang menyangkut pertikaian sahabat tentang proses
pemilihan khalifah ( الأستخلاف) sepeninggal nabi antara Bani Hasyim,
Anshar dan Muhajirin, ditulis oleh para ulama dalam kitab-kitab hadis
karangan mereka. Betapapun para ulama itu juga menyadari bahwa
sesungguhnya peristiwa itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan
aksi-aksi yang muncul dari pribadi Nabi. Akan tetapi ini adalah suatu
fakta yang tidak bisa diingkari kebenarannya.
Oleh karena itu sebagian ulama melakukan redefinisi terhadap materi
hadis dengan mengusulkan suatu terma baru yang lebih bisa meliputi
aspek-aspek yang tidak bisa dijangkau oleh definisi sebelumnya. Salah
satu definisi yang mereka ajukan adalah bahwa hadis itu disamping suatu
berita yang menyajikan tentang hal ihwal Nabi, maka ia juga termasuk
memuat preseden-preseden yang ditinggalkan oleh para sahabat dan
tabi’in. Sehingga umat islam tidak perlu membuang sebagian halaman dari
karya–karya para ulama yang tidak memiliki relevansinya dengan perihal
Nabi Muhammad.
Sementara itu as Sunnah seringkali dianggap memiliki
kesamaan arti dengan al hadis. Sungguhpun secara etimologi penggunaan
istilah as sunnah untuk menyebut suatu informasi tentang nabi amat
mungkin untuk diperdebatkan. Hanya saja secara umum umat islam sudah
terbiasa untuk memaknai as sunnah sebagai sejajar dengan al hadis.
Mahmud Syaltut (l966;499) menyebutkan pengertian as sunah menurut
etimologi disertai adanya kesaksian al qur’an tentang penggunaan makna
as sunnah. Menurutnya :
السنة كلمة قديمة معروفة فى اللغة العربية بمعنى الطريقة المعتادة حسنة
كا نت أم سيئة و قد وردت فى القران الكريم فى مواضع متعددة بمعنى العادة
المستمرة فقال تعالى : قد خلت من قبلكم سنن و قال عزوجل: السنة من قد
أرسلنا قبلك من رسلنا وقال سبحانه : قد مضت سنة الأولين وقوله عز وجل : ولن
تجد لسنة الله تبديلا”
Artinya :
As Sunnah adalah ungkapan lama yang sudah terkenal dalam bahasa
arab yang memiliki arti ‘jalan yang biasa dilalui’ (perangai, metode,
cara, perilaku dll) tanpa ada perbedaan kualitasnya baik atau jelek.
Dan al qur’an sendiri telah sering menggunakan istilah as Sunnah ini
dalam berbagai tempat dengan arti ‘kebiasaan yang terjadi secara
berulangkali’. Sebagaimana firman Allah : Sungguh telah berlalu
kebiasaan-kebiasaan orang sebelum kamu…juga sebagaimana terdapat dalam
ayat lainnya: sungguh telah berlalu kebiasaan orang-orang sebelumnya dan
firmanNya lagi : tiada lagi pengganti ‘ketentuan/kebiasaan yang telah
diberlakukan Allah.
Menyimak ungkapan yang digunakan oleh Mahmud Syaltut di atas, dapat
difahami bahwa pada dasarnya as sunnah adalah suatu adat kebiasaan,
suatu pola tingkah laku yang secara berulang-ulang dikerjakan oleh satu
generasi tertentu dalam masyarakat Arab lama. Adat kebiasaan dan pola
tingkah laku tersebut tidak pasti berupa nilai-nilai yang sifatnya
positif akan tetapi setiap bentuk perilaku –baik yang positif maupun
negatif- selama itu dikerjakan secara berulang-ulang, maka ia disebut
sebagai as sunnah. Adapun kalimat yang digunakan untuk memaknai
setiap perilaku yang dikerjakan secara berulang-ulang itu telah mereka
kenal sejak lama dengan istilah as sunah. Al qur’an sendiri menggunakan ungkapan as sunnah secara berulang-ulang sebanyak 16 kali, masing-masing memiliki makna peraturan yang sudah mapan, model kehidupan dan garis sikap (Azami,1977:20).
Ulama muhadisin menganggap as sunnah adalah satu hal yang
identik dengan al hadis. Mereka tidak mendapatkan adanya unsur yang bisa
membedakan antara pengertian as sunnah dengan al hadis. Sehingga jika
jumhur muhadisin menggunakan istilah as sunnah dalam karya-karya yang
mereka munculkan, maka makna yang dimaksud adalah al hadis itu sendiri,
yakni suatu informasi yang berasal dari nabi baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, sifat jasmani maupun ruhani baik qabla bi’sah ( sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat jadi Rasul ) maupun ba’da bi’sah (
sesudah beliau diangkat menjadi rasulullah ). Mereka tidak melakukan
perincian apakah hadis itu harus berkenaan dengan hukum, politik,
ekonomi, sejarah, sosio-humanistik ataupun sosio-religius. Bagi mereka
yang bisa membedakan pengertian antara hadis-sunnah dan informasi yang
bukan hadis-sunnah, adalah semata-mata penyandaran informasi itu. Jika
suatu informasi berujung pada informasi tentang nabi, maka berita itu
bisa disebut sebagai as sunnah ataupun al hadis. Begitu pula sebaliknya
jika sebuah informasi tidak berbicara tentang Nabi, sahabat ataupun
tabi’in, maka fakta semacam itu tidak bisa disebut sebagai al hadis atau
as sunnah.
Amat berlainan dengan pendapat yang berkembang di kalangan jumhur Usuliyyin.
Mereka menganggap bahwa antara as sunnah dengan al hadis adalah dua
istilah yang jelas berbeda. Menurut mereka as sunnah adalah segala
informasi yang berasal dari nabi yang bukan termasuk wahyu (al qur’an)
baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan yang patut untuk
dijadikan sebagai dalil syar’iy. Suatu dalil yang bisa digunakan
sebagai alasan penetapan hukum-hukum syar’iy. Jadi as sunnah tidaklah
sekedar sepotong sejarah yang melukiskan tentang aksi-aksi nabi belaka,
tetapi lebih dari itu as sunnah adalah suatu informasi tentang nabi yang
memiliki fungsi sebagai hujjah atau dengan kata lain as sunnah
haruslah informasi yang memiliki unsur-unsur yang bernilai argumentatif.
Adapun istilah al hadis bagi golongan ushuliyyun adalah informasi yang
hanya dikenakan terhadap “ucapan Nabi” saja –dengan kata lain hadis
dikalangan mereka adalah Sunnah Qauliyah.
Sementara itu di kalangan Jumhur Fuqaha, as sunnah
didefinisikan sebagai suatu nilai syari’ah yang tidak diwajibkan dan
tidak diharamkan oleh agama. Ia adalah suatu perintah agama yang
dianjurkan oleh syari’ untuk dilakukan, hanya saja tidak diikuti suatu
celaan, cercaan dan ancaman siksa bagi manusia yang tidak bersedia
untuk melaksanakannya. Dengan kata lain perintah yang dikandung dalam
materi “sunnah” tidak secara imperatif harus diwujudkan. Nilai yang
dikandung as sunah bagi mereka adalah adanya unsur kecintaan umat kepada
Nabi Muhammad saw. Manusia yang senantiasa menghiasi seluruh amal
ibadahnya dengan praktek-praktek yang bernilai sunah berarti itu
merupakan bukti bagi kecintaan umat terhadap Nabi Muhammad saw
Perbedaan ta’rif yang dirumuskan oleh tiga kelompok ulama itu,
sesungguhnya berawal dari cara pandang yang berbeda dan kepentingan
tujuan ilmiah yang berbeda pula. Jumhur Muhadisin merumuskan difinisi as
sunnah berdasarkan kualitas pribadi Nabi muhammad SAW sebagai contoh
yang ideal ( الأسوة الحسنة ) sebagai pribadi yang memiliki suri
tauladan yang umat diharapkan patuh dan tunduk tanpa reserve. Sehingga
ucapan dan segala tingkah laku Nabi harus diikuti secara total tanpa
memerinci tindakan mana dari perilaku Nabi yang mengandung perintah
wajib, haram, rukun, syarat dan sebagainya. Praktek Nabi seharusnya di
baca sebagai suatu totalitas yang menghendaki ketaatan yang sempurna,
melihat posisi nabi sebagai rasul, wakil Allah yang menuntun umat islam
pada kebenaran hakiki. Oleh karena itu tindakan manapun dari nabi,
pastilah mengandung nilai kebenaran dan umat islam patut untuk
sungguh-sungguh mencontoh perilaku beliau tersebut. Berangkat dari
pemahaman seperti inilah jumhur muhadisin menyusun formula as sunnah
sebagaimana yang telah didefinisikan di depan.
Ulama Ushuliyyun justru menempuh cara yang berbeda di ketika mambangun postulat dasar bagi as sunnah. Posisi Nabi sebagai musyari’
dijadikan titik sentral proses penyusunan ta’rif as sunnah di kalangan
mereka. Nabi dipandang sebagai satu-satunya pribadi yang berkuasa untuk
menentukan dan membentuk hukum syar’iy dengan di bingkai semangat al
Qur’an dan atas petunjuk serta bimbingan wahyu yang senantiasa ada dalam
kendali Allah SWT. Setiap tindakan Nabi memiliki kemungkinan
potensi-potensi yang berasal dari unsur basyariyyah dan ilahiyyah. Tindakan yang berasal dari unsur ilahiyyah
mengindikasikan adanya suatu perintah untuk meniru dan mencontoh
perilaku nabi sebagai bentuk kecintaan dan ketaatan pada beliau.
Sementara potensi basyariyyah Nabi Muhammad tentunya tidak menjadi kewajiban bagi umat islam untuk menirunya.
Mahmud syaltut (l966:508) menyebutkan ada tiga ciri yang bisa
dikenali untuk mendeteksi mana diantara hadis nabi yang patut dijadikan
dalil atau hanya sekedar sebuah hadis yang berupa rekaman kehidupan nabi
sebagai manusia biasa. Beliau mengatakan bahwa di antara ciri yang bisa
membedakan antara hadis nabi yang patut jadi dalil dan tidak adalah :
احدها ما سبيله سبيل الحاجة البشرية كلأكل والشرب
والنوم والمشى والتزاور و المصالحة بين شخصين بالطرق العرفية و
الشفاعة و المساومة فى البيع و الشرأ
ثانيها ما سبيله سبيل التجارب و العادة الشخصية أو الإجتماعية كالذى ورد فى شئون الزراعة والطب وطول اللباس وقصره
ثالثها ما سبيله التدبير الإنسانى أخذا من الظروف
الخاصة كتوزيع الجيوش على المواقع الحربية و تنظيم الصفوف فى الموقعة
الواحدة والكمون والكر والفر واختيار أماكن النزول وما الى ذلك مما يعتمد
على وحي الظروف و الدرابة الخاصة
Berdasarkan paragraf di atas dapat disimpulkan
bahwa hadis Nabi yang memiliki kesan dan konteks perilaku beliau sebagai
manusia biasa, seperti makan, minum, tidur bukan termasuk sunnah yang
secara ketat harus diikuti sebagai teladan (uswah hasanah). Begitu juga
dengan kebiasaan yang secara naluri terdapat pada pribadi seseorang atau
sekelompok manusia pada umumnya seperti cara-cara mengolah lahan
pertanian, metode pengobatan dan model pakaian umpamanya, maka ia bukan
termasuk sunnah. Termasuk juga kebisaan manusia dalam kehidupan
sosiologi kemasyarakatan seperti mobilisasi pasukan perang, strategi
dalam peperangan, kebijakan dalam suksesi politik dan lain-lain, semua
itu tergantung pada situasi dan kondisi yang berkembang. Sesuatu
perilaku bernilai sunnah bila ada nilai atau unsure Ilahiyyah di
dalamnya, namun apabila unsue basyariyah lebih dominant, maka bisa
dipastikan perilaku/kebiasaan itu bukan termasuk bagian dari sunnah.
Adapun untuk mengetahui mana tindakan Nabi yang berasal dari unsur ilahiyyah dan unsur basyariyyah,
salah satu metoda yang digunakan untuk maksud tersebut adalah dengan
meneliti dan mengembangkan studi terhadap hadis-hadisnya. Hadis Nabi
yang memiliki ‘muatan hukum’ dan menggunakan sighat yang
bermakna melarang dan memerintah sesuatu, ditengarai oleh jumhur
ushuliyyun termasuk hadis-hadis yang mengandung nilai “sunah”.
Tengara ini dimunculkan kelompok ushuliyyun dengan satu dasar
argumentasi bahwa dari jenis hadis yang seperti inilah sebuah hadis
mengandung suatu dalil atau hujjah yang bernilai syar’iy. Terhadap
hadis-hadis yang hanya menyajikan informasi tentang Nabi tanpa
mengandung nilai syari’ah (dalil) sama sekali, tidak dimasukkan dalam
katagori sunnah. Sifat Nabi merupakan contoh yang cukup signifikan
untuk membuktikan pernyataan ini. Segala sifat dan keadaan emosional
nabi tidak memiliki imbas hukum sama sekali. Amatlah sulit untuk
menilai apakah amarah, kejengkelan, kebencian dan ketidakpedulian nabi
pada sesuatu, menunjukkan nilai keharaman pada sesuatu tersebut.
Hadis Nabi yang mengindikasikan tentang perilaku beliau yang bersifat alamiah dan basyariyyah
seperti kantuk , warna kulit, tinggi-rendah jasmani beliau dan hal-hal
bersifat jasmaniyah lainnya, tentunya tidak berimplikasi pada hukum.
Jika sunnah diasumsikan sebagai contoh ideal dan teladan yang harus
didikuti secara ketat bagi umat islam tentunya itu akan menyulitkan.
Setiap manusia memiliki kondisi fisik yang berlainan dan punya
sifat-sifat emosional yang pada tingkat ekspresi juga berbeda. Keharusan
dan kewajiban meniru secara ketat terhadap kondisi –kondisi yang
dimiliki oleh Nabi adalah hal yang mustahil disamping mengingkari
kenyataan juga tidak rasional. Oleh karena itu Sunnah yang ideal –
dimana umat islam dituntut untuk mengikutinya- adalah hadis-hadis Nabi
yang mengandung muatan perintah dan larangan untuk mengerjakan dan tidak
mengerjakan sesuatu. Maka parameter yang digunakan untuk mengetahui
suatu perintah dan larangan nabi adalah dengan meneliti hadis-hadis nabi
yang pantas menjadi dalil dan yang tidak patut menjadi dalil. Hadis
yang mengandung dalil maka ia masuk katagori as sunnah.
Sementara itu jumhur fuqaha berdasarkan disiplin ilmu yang
dikuasainya memandang as sunnah merupakan satu bagian dari apa yang
dikalangan fuqaha disebut sebagai “Panca Hukum” atau (الأحكام
الخمسة.) Istilah ini lebih merupakan istilah tekhnis fiqh yang
dikembangkan fuqaha untuk membagi setiap perbuatan manusia dalam lima
kategori. Semua tindak tanduk umat islam haruslah dibingkai dalam lima
kategori tersebut. Sehingga menjadi jelas bagi umat islam mana perbuatan
yang wajib, haram dan yang sebaiknya dikerjakan dengan merujuk pada
panca hukum yang telah disistemisasikan oleh jumhur fuqaha dalam
karya-karya yang mereka terbitkan.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa perbedaan ta’rif yang terjadi
dikalangan ulama muhadisin, ushuliyyin dan fuqaha lebih disebabkan oleh
sudut pandang yang berbeda di dalam melihat sosok Nabi Suci, Muhammad
SAW. Jumhur muhadisin melihat pribadi nabi sebagai sosok rasul -utusan
Allah- penyampai pesan-pesan keagamaan dan merupakan pemangku amanah
ilahiyah yang telah ditentukan oleh Allah. Sementara ulama ushuliyyun
cenderung melihat nabi sebagai pemegang otorita hukum ( الشارع )
yang mendapatkan wewenang dari syari´ yang sesungguhnya yakni Allah SWT.
Oleh karena itu hanya tindakan nabi yang berasal dari kapasitas beliau
sebagai pemegang otorita hukum itulah, yang patut untuk dianggap sebagai
as sunah. Berbeda halnya dengan jumhur fuqaha mereka tidak melihat
pribadi nabi sebagai tolok ukurnya, akan tetapi mereka lebih
memperhatikan pada obyek hukum perbuatan manusia itu sendiri. Terhadap
seluruh perbuatan manusia itu, perlu diadakan pemilahan antara perbuatan
yang boleh, haram dan harus dilakukan. Sementara as sunah merupakan
salah satu bentuk pengklasifikasian perbuatan hukum manusia dalam islam.
Menilik hadis nabi yang berbunyi :
من سن سنة حسنة فله أجر و أجر من عمل بها الى يوم القيامة و من سن سنة سيئة فعليه وزر و وزر من عمل بها الى يوم القيامة
artinya:”Barangsiapa (memperkenalkan) sunnah yang baik maka
baginya pahala dan begitu pula ia akan mendapatkan pahala dari orang
yang mengerjakanannya sampai pad ahari kiamat. Dan barangsiapa
memperkenalkan sebuah sunnah yang buruk maka baginya dosa dan dosa itu
ditanggungnya dari orang yang ikut mengerjakannya ampai akhir kiamat”
Maka bisa diambil suatu kesimpulan bahwa praktek-praktek aktual yang bisa dianggap sebagai sunnah, tidaklah
melulu berupa apa yang disandarkan kepada Nabi saja. Akan tetapi apa
saja perbuatan dan pola tingkah laku yang secara aktual dilaksanakan
secara ketat dan berulang-ulang oleh suatu masyarakat tertentu bisa
disebut sebagai as sunnah. Fazlurrahman (1983: 40) berdasarkan
ucapan al ‘Auza’i yang terlibat perdebatan sengit dengan Abu Yusuf
tentang pembagian tanah hasil pampasan perang, menafsirkan bahwa semua
orang mempunyai peluang untuk menciptakan suatu sunnah-nya sendiri hanya saja dari sekian banyak sunnah, hanya sunnah Nabi yang patut untuk diikuti dan diteladani.
Senada dengan Fazlurrahman, Ahmad Hassan (1994 : 91) menyimpulkan
perdebatan sengit yang terjadi diantara Abu Yusuf dengan al Auza’i itu,
pada akhirnya memunculkan kesan bahwa orang lain dapat saja menciptakan
sebuah sunnah yang baru. Menurut Abu Yusuf perkecualian terhadap
aturan-aturan yang bersifat umum dapat disebut sebagai as sunnah. Maka
dimungkinkan bagi setiap umat islam untuk menciptakan sunnahnya sendiri
menurut apa yang ia anggap baik dan memang diperlukan. As sunah tidaklah
merupakan satu-satunya hak prerogatif yang melekat hanya pada diri
nabi.
Sesungguhnya istilah as sunah secara tak langsung memiliki arti
praktek yang bersifat normatif, atau model perilaku, terlepas dari
apakah perilaku itu bercirikan kebaikan atau malah justru sebaliknya,
mengandung hal-hal yang bermuatan kejelekan, dari seseorang individu,
kelompok atau masyarakat tertentu. Arti inilah yang bisa dimunculkan
berdasarkan pemberitaan hadis nabi di atas. Jadi, pendapat yang
menyatakan bahwa istilah as sunah hanya bisa digunakan terhadap preseden
yang berasal hanya dari nabi saja tidak dapat dibenarkan. Satu istilah
tekhnis lainnya kadang sempat muncul dalam kamus para cendekiawan muslim
klasik menyangkut penggunaan arti sunnah, yakni sunatullah.
Ahmad Hassan (1970:76) sambil merujuk pada kandungan al qur’an surat ke
17 ayat 77 dan surat ke 33 ayat 62, mensinyalir bahwa sunatullah adalah
suatu cara dimana Allah bertindak terhadap generasi-generasi masa lalu.
Suatu tindakan yang berindikasikan pada tradisi dan adat istiadat lama
bangsa arab, Serta cara Allah bertindak terhadap cara kerja alam semesta
sehingga alam bisa bekerja dalam wilayah yang sifatnya naluri belaka.
Penulis-penulis barat utamanya kaum orientalis, telah menciptakan
gambaran semu dan menyesatkan dengan mengatakan bahwa sunnah rasul tak
lebih hanyalah nama lain bagi sunah bangsa arab pra-islam. Bahkan lebih
dari itu konsep sunah rasul adalah konsep baru yang pada generasi awal
masyarakat islam, ia hanyalah preseden dari suatu kelompok masyarakat
tertentu, terutama sekali dari kalangan bangsawan, pembesar istana, kaum
cedik pandai dan tokoh-tokoh keagamaan-politik yang mendapatkan
pengakuan dalam sistem masyarakat patrialkhal bangsa arab. Oleh karena
itu sunah berarti sekedar praktek yang dijalankan oleh umat islam lama
dan telah berlaku secara mapan dan ajeg ditaati oleh masyarakat
pendukungnya dengan ketat.
Bagaimanapun ragam-kontradiksi yang berkembang di ketika menyoroti
istilah sunah, umat islam tidak bergeser sedikitpun pada pengertian
semula bahwa yang dimaksud dengan sunnah adalah segala hal yang memiliki
sangkut paut dengan Nabi Suci islam, dan menjadi kewajiban bagi umat
islam untuk mempelajarinya, mengikutinya dan menerjemahkanya dalam
kehidupan yang nyata.
Satu istilah lainnya yang sering dianggap oleh para ulama memiliki kesamaan makna dengan al hadis adalah al khabar.
Betapapun tinjauan filologi bisa membantah pendapat para ulama
tersebut, tak kurang seluruh jumhur muhadisin menerima pendapat yang
sudah mapan itu. Sehingga tidak diketemukan adanya perselisihan yang
marak berkaitan dengan penggunaan istilah tekhnis al khabar untuk
dijadikan padanan bagi istilah al hadis. Satu hal yang menjadi catatan
penting, bahwa hanya ulama khurasan-lah yang memiliki pengertian yang
berbeda menyangkut penggunaan istilah al khabar ini. Menurut mereka al
khabar lebih tepat digunakan untuk menunjuk pada berita-berita dan
preseden yang berasal dari para sahabat, sementara terhadap tradisi
yang diwariskan oleh generasi tabi’in bisa digunakan istilah al Atsar. Sebagian
ulama membedakan pengertian al hadis dengan al khabar dengan alasan
bahwa tidak setiap khabar itu bernilai hadis, berbeda halnya dengan al
hadis, karena setiap al hadis pastilah khabar.
Perbedaan lain yang berkaitan dengan penggunaan istilah as
sunah dan al hadis bagi jumhur muhadisin adalah jika kata-kata al
hadis disebut secara mutlaq maka pengertian yang dituju adalah
segala sesuatu yang berasal dari nabi semenjak beliau di angkat
sebagai seorang rasul (ba’da al bi’tsah) baik berupa perkataan,
perbuatan maupun taqrirnya. Dengan demikian pengertian as sunah
sesunguhnya lebih luas dan umum daripada as hadis karena bagi muhadisin
as sunah menyangkut segala peristiwa yang menyangkut pribadi beliau
baik qabla maupun ba’da bi’tsah.
Sementara al hadis dikalangan jumhur ushuliyyun dimaknai sebagai as sunah qauliyah tidak meliputi perbuatan dan ketetapan beliau. Jumhur ushuliyyun tidak memasukan sifat nabi
dalam difinisi as sunah dan al hadis sebagaimana pengertian yang
dikemukakan oleh golongan muhadisin. Sikap ini diambil oleh mereka
dengan satu alasan bahwa terhadap sikap yang ditunjukkan oleh nabi itu,
umat islam tidak dapat menarik kesimpulan apakah karakter emosional nabi
bisa memiliki imbas hukum atau tidak. Sangatlah sulit untuk menarik
benang merah keridlaan dan kemarahan nabi itu menunjukkan kebolehan dan
larangan beliau terhadap sesuatu yang menimbulkan emosi beliau tersebut.
Oleh karena itu mereka tidak memasukkan sifat nabi sebagai satu unsur
dari as sunah dan al hadis.
B. Ruang Lingkup Pembahasan Ulumul Hadis:
b.1 Sanad dan Pembahasannya
Sanad secara etimologi berarti :ماارتفع من الأرض
artinya :bagian bumi yang paling menonjol. Sebagian ulama mengartikan :
المعتمد (sandaran, tempat bersandar, yang menjadi sandaran). Bentuk
jama’nya adalah isnad, adapun musnad artinya adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada yang lain. Secara terminologi sanad bisa didefinisikan sebagai
الطريقة الموصل الى المتن (jalan yang menyampaikan kepada matan hadis)
atau secara sederhana dapat diartikan bahwa sanad adalah rentetan,
deretan atau silsilah nama perawi yang jalin menjalin membentuk satu
mata rantai yang mengantarkan pembacanya pada matan atau isi hadis nabi.
Sanad itu sesungguhnya bermaterikan nama-nama, kuniyah, laqab-laqab dan
gelaran lainnya yang dimiliki oleh seorang perawi yang merupakan sumber
periwayatan dan penyandaran sebuah hadis. Sanad adalah kumpulan orang
yang berfungsi sebagai mediator penyampaian dan periwayatan hadis nabi.
Ketiadaan sanad berakibat pada ditolaknya sebuah berita yang dianggap
dan berasal dari nabi. Istilah lain yang semakna dan sering
dipergilirkan penggunaannya dalam konteks yang sama adalah at thoriqoh, dan al Wajh.
Studi tentang sanad sesungguhnya bisa dimulai semenjak masa-masa awal
perkembangan kebudayaan dan peradaban bangsa arab jahiliyyah lama.
Nasiruddin Asad (1962:255) mengatakan pada penggunaannya yang paling
awal, sanad lebih sering dipakai untuk periwayatan syair-syair yang
dimiliki oleh mereka. Satu kebiasaan yang umum berlaku di kalangan
bangsa arab adalah di adakannya perlombaan pembacaan syair yang mereka
ciptakan atau sayir-syair yang mereka dapatkan secara turun temurun dari
generasi sebelumnya. Bagi pemenang perlombaan pembacaan syair itu,
atau jika syair-syair itu mendapatkan perhatian yang sangat besar
dikalangan bangsa arab, maka hal itu merupakan suatu kebanggaan ruhani
dan serta merta meningkatkan derajat sosial pemenangnya. Salah satu
diantara unsur penilaian kebagusan dan keunggulan syair-syair tersebut
adalah ketersambungan pemilik syair tersebut sampai pada generasi yang
jauh di atasnya, terlebih jika nama-nama itu adalah pribadi-pribadi yang
memiliki status sosial yang tinggi dikalangan masyarakat arab
jahiliyah. Syair yang, berasal dari panglima perang, kepala suku, tabib,
kahin dan jabatan sosial yang bermartabat lainnya meningkatkan
popularitas dan secara tak langsung memberi nilai surplus pada kualitas
syair tersebut.
Inilah awal mula penggunaan sanad dalam masyarakat arab pra islam.
Kebiasaan ini tidak disia-siakan oleh umat islam dan pada generasi
selanjutnya ia dipakai sebagai alat ukur penilaian sahih dan tidaknya
sebuah hadis. Dengan kata lain tradisi sanad dalam masyarakat
jahiliyyah telah diintrodusir secara besar-besaran oleh ulama
muhadisin, dan pada gilirannya dianggap sebagai suatu ciri yang inheren
dalam masyarakat islam, bahwa tidak ada satu kebudayaanpun di dunia
ini yang memiliki kemampuan yang sama dalam kekayaan dan ketelitian
mencatat nama-nama orang dalam sejarah masa lalu.
Pada generasi nabi, sanad tidaklah mendapat perhatian yang sama
besarnya sebagaimana berlaku pada masa-masa generasi berikutnya.
Kesahihan hadis pada masa kenabian tidaklah terlalu sulit untuk
membuktikannya. Hal ini mengingat keberadaan nabi masih berada
ditengah-tengah lingkungan para sahabat. Sehingga jika ada sebuah berita
yang berkaitan dengan pribadi nabi, sahabat bisa langsung melakukan
konfirmasi kepada beliau tanpa mengalami kesulitan.
Semenjak maraknya kegiatan pemalsuan hadis yang dipicu oleh adanya
pertikaian politik dan sentimen keagamaan yang berkembang disebagian
fikiran umat islam, maka para ulama mulai mengembangkan sikap
berhati-hati di dalam meriwayatkan dan menerima sebuah hadis. Pertikaian
politik yang berimbas pada perpecahan di bidang agama mendorong
sebagian pengikut hawa nafsu untuk menciptakan hujah-hujah palsu dan
dasar argumen buatan yang dimaksudkan untuk memperkuat dan melegalkan
apa-apa yang menjadi pendapat mereka. Sesungguhnya pertikaian yang
terjadi dikalangan mereka itu, memberi inspirasi bagi mereka untuk
mencari keterangan agama yang bisa membenarkan ajaran-ajaran yang
dikembangkan dan diyakini kebenarannya oleh masing-masing kelompok yang
sedang bertikai.
Dampak serius yang ditimbulkan akibat pertikaian itu merembes pada
pemalsuan besar-besaran hadis nabi. Pada akhirnya ulama merasa perlu
untuk membendung kejahatan para pemalsu hadis itu dengan mengembangkan
suatu metodologi ilmiah di dalam menerima dan menilai kesahihan sebuah
hadis. Semenjak itu sebuah berita tentang hadis tidak begitu saja bisa
diterima kecuali setelah diketahui nama orang yang menjadi perantara
hadis tersebut atau bisa dilacak dari mana sumber hadis itu berasal.
Proses pelacakan terhadap rentetan sanad atau sumber periwayatan itu
pada akhirnya mewujud pada apa yang kini di kenal di dalam istilah
teknis ulumul hadis sebagai as sanad. Satu hal yang bisa
dicatat bahwa al qur’an tidak menyediakan cukup dalil yang bisa
digunakan untuk mendukung pendapat yang mereka pegangi itu. Memang
benar, beberapa pengikut dari kelompok yang bertikai itu, mencoba untuk
menafsirkan dan mena’wilkan beberapa ayat al qur’an yang sesuai dengan
aqidah dan ajaran mereka sendiri. Hanya saja ta’wil yang mereka lakukan
terhadap ayat-ayat itu dilakukan dengan tanpa memperhatikan
qaida-qaidah pena’wilan yang berlaku dalam disiplin ilmu tafsir yang
telah disepakati oleh para ulama sebagaimana yang telah diwarisi oleh
generasi sekarang ini. Pena’wilan itu sama sekali jauh dari nilai
kebenaran dan amat lemah dihadapan prinsip-prinsip metodologi ilmiah
bagi sebuah upaya pena’wilan sebuah teks. Sudah barang tentu pena’wilan
yang dibuat itu tidak mendapatkan sokongan dan pembenaran dari para
ulama di bidangnya. Sehingga pada akhirnya ta’wilan itu hilang dengan
sendirinya. Oleh karenanya mereka mencoba beralih pada bidang hadis yang
memberi peluang yang cukup terbuka untuk menguatkan pendapat
kelompoknya di hadapan pendapat kelompok musuhnya. Mulailah mereka
membuat hadis palsu yang mereka sandarkan kepada Nabi Muhamad yang
bermaterikan hujah palsu demi kepentingan kelompoknya. Di sinilah awal
mula motivasi dan pendorong utama munculnya hadis palsu dan yang
mendesak para ulama untuk menciptakan metode penelitian terhadap hadis
nabi. Kegiatan para ulama itu pada akhirnya memunculkan satu istilah
baru yang pada masa sekarang di kenal dengan ungkapan as sanad.
b.2 Rawi dan Pembahasannya
Adapun Rawi maksudnya adalah orang yang
memperoleh atau menerima hadis dengan cara yang sah dan kemudian
menyampaikan atau meriwayatkan hadis itu kepada orang lain dengan cara
atau metode yang sah pula. Metode menerima dan menyampaikan hadis itu
dalam kajian para jumhur muhadisin biasa dikenal dengan istilah : Tahammulu wa ’Ada’ al Hadis.
Ilmu ini menjelaskan tentang kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang
perawi agar hadis yang diterimanya dan kemudian ketika dia harus
meriwayatkan hadis itu memiliki derajat kesahihan di kalangan para ulama
jumhur muhadisin. Rawi yang berada dalam generasi sahabat disebut
sebagai rawi awal dan rawi yang menceritakan, menyampaikan dan menulis
hadis dalam sebuah kitab hadis tertentu di sebut sebagai rawi akhir.
Rawi akhir ini biasanya adalah orang atau ulama yang menuliskan semua
hadis yang pernah diterimanya dalam sebuah kitab disertai penyebutan
sanad-sanadnya.
b.3 Matan dan Pembahasannya
Matan dari segi bahasa artinya membelah, mengeluarkan, dan mengikat. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan Matan adalah
makna-makna ( ucapan, perbuatan dan keputusan) yang terkandung dalam
hadis Nabi, atau sebagaimana pendapat ulama berikut ini matan adalah :
ما انتهى اليه السند من الكلام فهو نفس الحديث الذي ذكر الإسناد له
(perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya)
Dengan kata lain matan adalah susunan redaksi kata-kata yang
menginformasikan tentang ucapan, kelakuan dan ketetapan serta sifat dari
pribadi Nabi. Kadangkala apa yang dimaksud dengan matan tidak melulu
berupa berita tentang nabi, acapkali ucapan seorang sahabat, bahkan
preseden yang berasal dari tabi’inpun sering menghiasi kandungan matan
hadis. Nampaknya sebagian ulama tidak merasa keberatan untuk memasukkan
berita yang berasal dari sahabat dan tabi’in termasuk bagian yang
inheren dari al hadis.
b.4 Mukharrij dan Pembahasannya
Istilah lain yang erat kaitannya dengan materi al hadis adalah al Mukharij. Al
Mukharij biasa diartikan sebagai orang yang mengumpulkan dan
meriwayatkan serta menuliskan hadis-hadis yang di perolehnya dalam
sebuah catatan-catatan tertentu atau di dalam buku yang diterbitkan oleh
si mukharij tersebut. Penulisan hadis-hadis yang diriwayatkannya itu
tentunya disertai adanya sejumlah nama yang menjadi jalur
periwayatannya. Artinya hadis tersebut haruslah memuat nama-nama perawi
yang menjadi sanad (Transmiter) antara dirinya dengan guru-guru yang
meriwayatkan hadis padanya. Pengabaian ketentuan ini berakibat pada
kurangnya perhatian para ulama terhadap kitab yang dikarangnya, dan
dampak yang lebih lanjut kitab hadisnya tidak menjadi ajang kajian dan
pegangan bagi umat islam dan ulama yang berniat mengkajinya.
Imam Bukhary dan Imam Muslim merupakan dua contoh nama bagi ulama
yang pantas disebut sebagai mukharrij. Hal ini didasarkan pada suatu
kenyataan bahwa kedua ulama ini memiliki suatu kitab hadis tersendiri
hasil dari upaya dan kerja kerasnya di dalam meneliti dan mengkritisi
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh orang lain kepada kedua beliau
tersebut. Masing-masing dari kedua imam ini memiliki proses periwayatan
yang berbeda dan penggunaan nama atau sanad yang berbeda pula di dalam
mendukung keabsahan hadis-hadis yang mereka riwayatkan. Pada akhirnya
semua hadis yang mereka riwayatkan itu didokumentasikan dalam sebuah
karya yang dalam catatan sejarah islam karya mereka termasuk karya yang
monumental dan tiada yang dapat menandinginya sepanjang sejarah hingga
kini. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Sanad adalah rangkaian nama
perawi hadis yang sambung menyambung semenjak dari awal rawi (sahabat)
sampai kepada akhir rawi (Mukharrij). Sanad dalam pengertian yang
sederhana dapat diartikan dengan suatu jalan yang mengantarkan kita
kepada matan hadis.
Sementara itu dalam kajian ulumul hadis sanad-sanad yang ada itu
memiliki derajat yang berbeda-beda, ada yang mencapai derajat tinggi dan
ada pula yang mempunyai derajat rendah. Tinggi dan rendahnya derajat
sanad sangat berpengaruh terhadap kualitas pengklasifikasian sebuah
hadis. Tinggi rendahnya sanad sangat bergantung pada tingkat kekuatan
hafalan (dhabith) sang perawi dan keadilan perawi dalam silsilah
sanadnya. Bila sanadnya termasuk ashah al asanid, maka hadisnya bisa
dijadikan sebagai hujjah ( hadis yang maqbul). Sebaliknya bila sanadnya
termasuk adl’af al asanid, maka dengan sendirinya hadis yang
diriwayatkan oleh jalur periwayatan tersebut tidak bisa dijadikan
sebagai hujah ( hadis mardud ).
Para muhadisin membagi tingkatan sanad menjadi tiga kelompok :
1. Ashah al asanid (sanad-sanad yang yang paling shahih)
2. Ahsan al asanid (sanad-sanad yang paling hasan)
3. Adl’af al asanid (sanad-sanad yang paling lemah)
Berdasarkan kategori dan pengklasifikasian sanad tersebut, maka
orang-orang yang termasuk dalam kategori ashah al asanid hadisnya bisa
dipastikan untuk diterima menjadi hujjah agama. Sementara untuk perawi
yang masuk dalam kategori ahsan al asanid, hadisnya bisa
dijadikan hujah meskipun ia tidak termasuk dalam kategori atau peringkat
pertama. Adapun untuk kelompok yang ketiga, maka sebagian besar
periwayatan mereka ditolak.Para ahli hadis sangat hati-hati dalam
menerima suatu hadis kecuali apabila mengenal dari siapa mereka menerima
setelah benar-benar dapat dipercaya. Pada umumnya riwayat dari golongan
sahabat tidak disyaratkan apa-apa untuk diterima periwayatannya. Akan
tetapi mereka pun sangat hati-hati dalam menerima hadis . Pada masa Abu
bakar r.a. dan Umar r.a. periwayatan hadis diawasi secara hati-hati dan
tidak akan diterima jika tidak disaksikan kebenarannya oleh seorang
lain. Ali bin Abu Thalib tidak menerima hadis sebelum yang
meriwayatkannya disumpah. Meminta seorang saksi kepada perawi, bukanlah
merupakan keharusan dan hanya merupakan jalan untuk menguatkan hati
dalam menerima yang berisikan itu. Jika dirasa tak perlu meminta saksi
atau sumpah para perawi, mereka pun menerima periwayatannya. Adapun
meminta seseorang saksi atau menyeluruh perawi untuk bersumpah untuk
membenarkan riwayatnya, tidak dipandang sebagai suatu undang-undang umum
diterima atau tidaknya periwayatan hadis. Yang diperlukan dalam
menerima hadis adalah adanya kepercayaan penuh kepada perawi. Jika
sewaktu-waktu ragu tentang riwayatnya, maka perlu didatangkan
saksi/keterangan.
Kedudukan sanad dalam hadis sangat penting, karena hadis yang
diperoleh/ diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya.
Dengan sanad suatu periwayatan hadis dapat diketahui mana yang dapat
diterima atau ditolak dan mana hadis yang sahih atau tidak, untuk
diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum
Islam.
Berikut ini akan dijelaskan secara skematis batang tubuh hadis agar
memudahkan kita di dalam memahami apa yang dinamakan sanad, rawi dan
Mukharrij tersebut. Pemuatan skema tidak dimaksudkan untuk menentukan
kualitas hadis apakah ia bernilai sebagai hadis shahih ataukah hadis
hasan ataupun hadis dlaif. Pembuatan skema sekali lagi hanya ditujukan
untuk hal-hal yang berkaitan dengan upaya memperjelas posisi as sanad, ar rawi dan al mukharrij.
SKEMA SANAD HADIS
النبى
|
|||
|
|
|
||||||
|
||||||
|
Demikianlah pembahasan tentang perbedaan antara hadis, sunnah khabar
dan atsar serta beberapa istilah yang berkaitan dengan hadis, seperti
sanad, isnad, rawi dan matan. Berikutnya akan dibahas tentang
kedudukan hadis dalam ajaran agama islam kaitannya dengan dasar-dasar
penetapan hukum islam.
Sumber : http://assyiddatiy.wordpress.com/2010/11/25/u-h-pengertian-dan-ruang-lingkup-ulumul-hadits/
No comments: