Oleh: Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad
Surat Al Fatihah merupakan sebuah surat paling agung di dalam
al-Qur’an. Hal itu berdasarkan hadits Abu Sa’id bin Al Mu’alla yang
dikeluarkan oleh Al Bukhari (hadits nomor 4474). Surat ini telah
mencakup ketiga macam tauhid: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan
tauhid asma’ wa shifat. Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah ta’ala
dalam perbuatan-perbuatan-Nya, seperti: menciptakan, memberikan rezeki,
menghidupkan, mematikan, dan perbuatan-perbuatan Allah ta’ala yang
lainnya. Maknanya Allah itu esa dalam perbuatan-perbuatan-Nya, tidak ada
sekutu bagi-Nya dalam hal mencipta, menghidupkan dan mematikan makhluk.
Sedangkan tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala
dengan perbuatan-perbuatan hamba seperti: dalam hal berdoa, merasa
takut, berharap, bertawakal, meminta pertolongan (isti’anah), memohon
keselamatan dari cekaman bahaya (istighatsah), menyembelih binatang, dan
perbuatan-perbuatan hamba yang lainnya. Maka sudah menjadi kewajiban
bagi setiap mereka untuk menjadikan segala ibadah itu ikhlas semata-mata
tertuju kepada Allah ‘azza wa jalla sehingga mereka tidak
mempersekutukan sesuatupun bersama-Nya dalam hal ibadah. Sebagaimana
tiada pencipta kecuali Allah, tiada yang menghidupkan kecuali Allah,
tiada yang mematikan kecuali Allah, maka tiada yang berhak disembah
kecuali Allah.
Tauhid asma’ wa shifat adalah menetapkan nama dan sifat yang telah
ditetapkan sendiri oleh Allah bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi diri-Nya tanpa disertai
dengan tahrif (penyelewengan makna), ta’wil (penafsiran yang
menyimpang), ta’thil (menolak makna atau teksnya), takyif (menegaskan
bentuk tertentu dari sifat Allah), tasybih (menyerupakan secara parsial)
ataupun tamtsil (menyerupakan secara total). Hal ini sebagaimana
ditegaskan di dalam firman Allah ta’ala yang artinya, “Tiada sesuatupun
yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS.
Asy Syura: 11). Sesungguhnya ayat yang mulia ini merupakan dalil yang
sangat jelas tentang kebenaran madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam
mengimani sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla yaitu dengan menetapkan sifat
serta menyucikan-Nya. Di dalam firman-Nya ‘azza wa jalla, “Dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” terdapat penetapan dua buah nama Allah
yaitu As Sami’ (Maha Mendengar) dan Al Bashir (Maha Melihat). Kedua nama
ini menunjukkan keberadaan dua sifat Allah yaitu As Sam’u (mendengar)
dan Al Bashar (melihat). Sedangkan di dalam firman-Nya ta’ala, “Tiada
sesuatupun yang serupa dengan-Nya.” terdapat penyucian Allah ta’ala dari
keserupaan diri-Nya dengan makhluk dalam sifat-sifat mereka. Allah
subhanahu wa ta’ala mendengar tetapi tidak sebagaimana pendengaran
makhluk. Dia juga melihat namun tidak sama seperti penglihatan mereka.
Bahkan ayat pertama yang terdapat dalam surat yang agung ini sudah
mencakup ketiga macam tauhid tersebut. Tauhid uluhiyah sudah ditunjukkan
keberadaannya dengan firman-Nya, “Alhamdulillah” (Segala puji bagi
Allah). Hal itu dikarenakan penyandaran pujian oleh para hamba terhadap
Rabb mereka merupakan sebuah bentuk ibadah dan sanjungan kepada-Nya, dan
itu merupakan bagian dari perbuatan mereka.
Adapun tauhid rububiyah, ia juga sudah terkandung di dalam firman-Nya
ta’ala, “Rabbil ‘alamin.” (Rabb seru sekalian alam). Hal itu disebabkan
Allah subhanahu wa ta’ala adalah rabb bagi segala sesuatu, pencipta
sekaligus penguasanya. Hal itu sebagaimana difirmankan oleh Allah ‘azza
wa jalla, “Hai umat manusia, sembahlah Rabb kalian yang telah
menciptakan kalian serta orang-orang sebelum kalian agar kalian
bertakwa. Dia lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kalian dan
langit menjadi atap, dan Dia lah yang menurunkan air hujan dari langit
kemudian berkat air itu Allah menumbuhkan berbagai buah-buahan sebagai
rezeki untuk kalian, maka janganlah kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi
Allah padahal kalian mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 21-22)
Sedangkan tauhid asma’ wa shifat, maka sesungguhnya ayat pertama itu
pun telah menyebutkan dua buah nama Allah. Kedua nama itu adalah lafzhul
jalalah ‘Allah’ dan Rabb sebagaimana di dalam firman-Nya “Rabbil
‘alamin”. Pada ayat ini kata ‘rabb’ disebutkan dalam bentuk mudhaf
(dipadukan dengan kata lain, pen). Sedangkan pada ayat lainnya yang
tercantum dalam surat Yasin ia disebutkan secara bersendirian tanpa
perpaduan, yaitu dalam firman-Nya, “Salamun qaulan min rabbir rahim”
(Semoga keselamatan tercurah dari rabb yang maha penyayang) (QS. Yasin:
58)
Adapun ‘alamin’ adalah segala makhluk selain Allah. Allah subhanahu
wa ta’ala dengan dzat-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, maka Dia lah
Sang Pencipta. Sedangkan semua selain diri-Nya adalah makhluk. Allah
‘azza wa jalla bercerita tentang kisah Musa dan Fir’aun, “Fir’aun
mengatakan, ‘Apa itu rabbul ‘alamin?’ Maka Musa menjawab, ‘Dia adalah
rabb penguasa langit, bumi, dan segala sesuatu yang berada di antara
keduanya, jika kamu mau jujur meyakininya.’.” (QS. Asy Syu’ara’: 23-24)
‘Ar Rahman Ar Rahim’ (Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)
merupakan dua buah nama Allah yang menunjukkan salah satu sifat Allah
yaitu rahmah (kasih sayang). Ar Rahman termasuk kategori nama Allah yang
hanya boleh dipakai untuk menyebut Allah. Sedangkan nama Ar Rahim telah
disebutkan di dalam al-Qur’an pemakaiannya untuk menyebut selain-Nya.
Allah ‘azza wa jalla berfirman tentang sifat Nabi-Nya Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sungguh telah datang kepada kalian
seorang rasul dari kalangan kalian, terasa berat olehnya apa yang
menyulitkan kalian, dan dia sangat bersemangat untuk memberikan kebaikan
bagi kalian, dan dia sangat lembut dan menyayangi orang-orang yang
beriman.” (QS. At Taubah: 128)
Ibnu Katsir mengungkapkan tatkala menjelaskan tafsir basmalah di awal
surat Al Fatihah, “Kesimpulan yang dapat dipetik adalah sebagian nama
Allah ta’ala ada yang bisa dipakai untuk menamai selain-Nya, dan ada
yang hanya boleh dipakai untuk menamai diri-Nya -seperti nama Allah, Ar
Rahman, Al Khaliq, Ar Raziq dan sebagainya- .”
‘Maliki yaumid din’ menunjukkan kepada tauhid rububiyah. Allah
subhanahu wa ta’ala adalah rabb segala sesuatu dan penguasanya. Seluruh
kerajaan langit dan bumi serta apa pun yang berada di antara keduanya
adalah milik-Nya. Dia lah Raja yang menguasai dunia dan akhirat. Allah
‘azza wa jalla berfirman, “Milik Allah kerajaan langit dan bumi serta
segala sesuatu yang ada di dalamnya, dan Dia Maha menguasai segala
sesuatu.” (QS. Al Ma’idah: 120). Allah juga berfirman, “Maha Suci Allah
yang di tangan-Nya kerajaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
(QS. Al Mulk: 1). Allah berfirman, “Katakanlah; Siapakah yang di
tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, Dia yang melindungi dan
tiada yang dapat terlindungi dari siksa-Nya, jika kalian benar-benar
mengetahui? Maka mereka akan menjawab, ‘Allah’. Katakanlah; Lantas dari
sisi manakah kalian tertipu.” (QS. Al Mu’minun: 88-89)
Yaumid din adalah hari terjadinya pembalasan dan penghitungan amal.
Di dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah adalah penguasa pada hari
pembalasan -padahal Dia adalah penguasa dunia dan akhirat- dikarenakan
pada hari itu semua orang pasti akan tunduk kepada Rabbul ‘alamin.
Berbeda dengan situasi yang terjadi di dunia, ketika di dunia masih ada
orang yang bisa melampaui batas dan menyombongkan dirinya, bahkan ada
pula yang berani mengatakan, “Aku adalah rabb kalian yang paling
tinggi.” Dan dia pun lancang mengatakan, “Wahai rakyatku semua, tidaklah
aku mengetahui adanya sesembahan bagi kalian selain diri-Ku.”
‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ (Hanya kepada-Mu kami beribadah
dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan). Ini menunjukkan tauhid
uluhiyah. Penyebutan objek yang didahulukan sebelum dua buah kata kerja
tersebut menunjukkan pembatasan. Ia menunjukkan bahwa ibadah tidak boleh
dipersembahkan kecuali kepada Allah. Demikian pula meminta pertolongan
dalam urusan yang hanya dikuasai oleh Allah juga harus diminta hanya
kepada Allah. Kalimat yang pertama menunjukkan bahwasanya seorang muslim
harus melaksanakan ibadahnya dengan ikhlas untuk mengharap wajah Allah
yang disertai kesesuaian amal dengan sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sedangkan kalimat yang kedua menunjukkan bahwa
hendaknya seorang muslim tidak meminta pertolongan dalam mengatasi
segala urusan agama dan dunianya kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla.
‘Ihdinash shirathal mustaqim’ (Tunjukilah kami jalan yang lurus). Ini
menunjukkan tauhid uluhiyah, sebab ia merupakan doa. Dan doa termasuk
jenis ibadah. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla,
“Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah
kalian menyeru bersama Allah siapapun.” (QS. Al Jin: 18). Doa ini
mengandung seagung-agung tuntutan seorang hamba yaitu mendapatkan
petunjuk menuju jalan yang lurus. Dengan meniti jalan itulah seseorang
akan keluar dari berbagai kegelapan menuju cahaya serta akan menuai
keberhasilan dunia dan akhirat. Kebutuhan hamba terhadap petunjuk ini
jauh lebih besar daripada kebutuhan dirinya terhadap makanan dan
minuman. Karena makanan dan minuman hanyalah bekal untuk menjalani
kehidupannya yang fana. Sedangkan petunjuk menuju jalan yang lurus
merupakan bekal kehidupannya yang kekal dan abadi. Doa ini juga
mengandung permintaan untuk diberikan keteguhan di atas petunjuk yang
telah diraih dan juga mengandung permintaan untuk mendapatkan tambahan
petunjuk. Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan orang-orang yang tetap
berjalan di atas petunjuk, maka Allah pun akan menambahkan kepada mereka
petunjuk dan Allah akan memberikan ketakwaan kepada mereka.” (QS.
Muhammad: 17). Allah juga berfirman tentang Ashabul Kahfi, “Sesungguhnya
mereka adalah para pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami pun
menambahkan petunjuk kepada mereka.” (QS. Al Kahfi: 13). Allah juga
berfirman, “Dan Allah akan menambahkan petunjuk kepada orang-orang yang
tetap berjalan di atas petunjuk.” (QS. Maryam: 76)
Petunjuk menuju jalan yang lurus itu akan menuntun kepada jalan
orang-orang yang diberikan kenikmatan yaitu para nabi, orang-orang
shiddiq, para syuhada’, dan orang-orang salih. Mereka itu adalah
orang-orang yang memadukan ilmu dengan amal. Maka seorang hamba memohon
kepada Rabbnya untuk melimpahkan hidayah menuju jalan lurus ini yang
merupakan sebuah pemuliaan dari Allah kepada para rasul-Nya dan
wali-wali-Nya. Dia memohon agar Allah menjauhkan dirinya dari jalan
musuh-musuh-Nya yaitu orang-orang yang memiliki ilmu akan tetapi tidak
mengamalkannya. Mereka itulah golongan Yahudi yang dimurkai. Demikian
juga dia memohon agar Allah menjauhkan dirinya dari jalan orang-orang
yang beribadah kepada Allah di atas kebodohan dan kesesatan. Mereka
itulah golongan Nasrani yang sesat. Hadits yang menerangkan bahwa
orang-orang yang dimurkai itu adalah Yahudi dan orang-orang sesat itu
adalah Nasrani dikeluarkan oleh At Tirmidzi (hadits nomor 2954) dan ahli
hadits lainnya, silakan lihat takhrij hadits ini di buku Silsilah Ash
Shahihah karya Al Albani (hadits nomor 3263), di dalam buku itu
disebutkan nama-nama para ulama yang menyatakan keabsahan hadits
tersebut.
Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya ketika membahas firman Allah
ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya kebanyakan pendeta
dan rahib-rahib benar-benar memakan harta manusia dengan cara yang batil
dan memalingkan manusia dari jalan Allah.” (QS. At Taubah: 34)
menukilkan ucapan Sufyan bin Uyainah yang mengatakan, “Orang-orang yang
rusak di antara orang berilmu di kalangan kita, padanya terdapat
keserupaan dengan Yahudi. Dan orang-orang yang rusak di antara para ahli
ibadah di kalangan kita, padanya terdapat keserupaan dengan Nasrani.”
Guru kamu Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi mengatakan di dalam
kitabnya Adhwa’ul Bayan (1/53), “Orang-orang Yahudi dan Nasrani
-meskipun sebenarnya mereka sama-sama sesat dan sama-sama dimurkai-
hanya saja kemurkaan itu lebih dikhususkan kepada Yahudi -meskipun orang
Nasrani juga termasuk di dalamnya- dikarenakan mereka telah mengenal
kebenaran namun justru mengingkarinya, dan secara sengaja melakukan
kebatilan. Karena itulah kemurkaan lebih condong dilekatkan kepada
mereka. Adapun orang-orang Nasrani adalah orang yang bodoh dan tidak
mengetahui kebenaran, sehingga kesesatan merupakan ciri mereka yang
lebih menonjol. Meskipun begitu Allah menyatakan bahwa ‘al magdhubi
‘alaihim’ adalah kaum Yahudi melalui firman-Nya ta’ala tentang mereka,
“Maka mereka pun kembali dengan menuai kemurkaan di atas kemurkaan.”
(QS. Al Baqarah: 90). Demikian pula Allah berfirman mengenai mereka,
“Katakanlah; maukah aku kabarkan kepada kalian tentang golongan orang
yang balasannya lebih jelek di sisi Allah, yaitu orang-orang yang
dilaknati Allah dan dimurkai oleh-Nya.” (QS. Al Ma’idah: 60). Begitu
pula firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan patung sapi
itu sebagai sesembahan niscaya akan mendapatkan kemurkaan.” (QS. Al
A’raaf : 152). Sedangkan golongan ‘adh dhaalliin’ telah Allah jelaskan
bahwa mereka itu adalah kaum Nasrani melalui firman-Nya ta’ala, “Dan
janganlah kalian mengikuti hawa nafsu suatu kaum yang telah tersesat,
dan mereka pun menyesatkan banyak orang, sungguh mereka telah tersesat
dari jalan yang lurus.” (QS. Al Ma’idah: 77)”
Dari penjelasan terdahulu maka jelaslah bahwa surat Al Fatihah
mengandung lebih daripada sekedar pembahasan ketiga macam tauhid: tauhid
rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat. Sebagian ulama
ada juga yang membagi tauhid menjadi dua macam: tauhid fil ma’rifah wal
itsbat -ia sudah mencakup tauhid rububiyah dan asma’ wa shifat- dan
tauhid fi thalab wal qashd yang tidak lain adalah tauhid uluhiyah. Maka
tidak ada pertentangan antara pembagian tauhid menjadi dua ataupun tiga.
Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi mengatakan di dalam Syarh ‘Aqidah Thahawiyah
(hal. 42-43), “Kemudian, tauhid yang diserukan oleh para utusan Allah
dan menjadi muatan kitab-kitab suci yang diturunkan-Nya ada dua macam:
tauhid dalam hal penetapan dan pengenalan (itsbat wal ma’rifah), dan
tauhid dalam hal tuntutan dan keinginan (fi thalab wal qashd). Adapun
tauhid yang pertama adalah penetapan hakikat Rabb ta’ala,
sifat-sifat-Nya, dan nama-nama-Nya. Tiada sesuatu pun yang serupa
dengan-Nya dalam perkara-perkara itu semua. Hal itu sebagaimana yang
diberitakan oleh Allah mengenai dirinya sendiri, dan juga sebagaimana
yang diberitakan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. al-Qur’an
telah menjelaskan dengan gamblang mengenai jenis tauhid ini,
sebagaimana tercantum di dalam bagian awal surat Al Hadid, Thaha, bagian
akhir surat Al Hasyr, bagian awal surat ‘Alif lam mim tanzil’ (As
Sajdah), awal surat Ali ‘Imran, seluruh ayat dalam surat Al Ikhlas, dan
lain sebagainya. Yang kedua: Tauhid thalab wal qashd, seperti yang
terkandung dalam surat Qul ya ayyuhal kafirun, Qul Ya ahlal kitabi
ta’aalau ila kalimatin sawaa’in bainana wa bainakum, awal surat Tanzilul
Kitab dan bagian akhirnya, awal surat Yunus, pertengahan, dan bagian
akhirnya, awal surat Al A’raaf dan bagian akhirnya, dan surat Al An’aam
secara keseluruhan. Mayoritas surat-surat al-Qur’an mengandung dua macam
tauhid tersebut, bahkan setiap surat dalam al-Qur’an demikian halnya;
sebab al-Qur’an itu meliputi pemberitaan tentang Allah, nama-nama-Nya,
sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya, inilah yang disebut dengan
tauhid ilmi khabari. Ia juga berisi tentang dakwah yang mengajak untuk
beribadah kepada Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya serta
menanggalkan segala bentuk sesembahan selain-Nya, inilah yang disebut
tauhid iradi thalabi. Ia juga berisi tentang perintah dan larangan serta
kewajiban untuk menaati-Nya, ini merupakan hak-hak tauhid dan
penyempurna baginya. Ia juga mengandung berita mengenai pemuliaan yang
diberikan bagi orang-orang yang bertauhid, kebaikan yang Allah limpahkan
kepada mereka di dunia dan kemuliaan yang akan mereka terima di
akhirat, maka itu semua merupakan balasan bagi ketauhidannya. Ia juga
berisi berita mengenai para pelaku kesyirikan, siksa yang Allah timpakan
kepada mereka sewaktu di dunia dan azab yang harus mereka rasakan di
akhirat, maka itu merupakan balasan bagi orang-orang yang meninggalkan
tauhid. Dengan demikian seluruh bagian dari al-Qur’an berisi tentang
tauhid, hak-haknya, dan balasannya, serta menjelaskan tentang syirik,
pelakunya, dan balasan (hukuman) yang diberikan kepada mereka. Maka
alhamdulillahi Rabbil ‘alamin adalah tauhid. Ar rahmanir rahim adalah
tauhid. Maliki yaumid Din adalah tauhid. Iyyaka na’budu wa iyyaka
nasta’in adalah tauhid. Ihdinash shirathal mustaqim adalah tauhid yang
mengandung permohonan petunjuk untuk bisa meniti jalan ahli tauhid yang
telah mendapatkan anugerah kenikmatan dari Allah, bukan jalan
orang-orang yang dimurkai dan juga bukan jalan orang-orang yang sesat;
yaitu orang-orang yang memisahkan diri dari tauhid.”
Dikarenakan keagungan kedudukan surat Al Fatihah ini dan
ketercakupannya terhadap tauhidullah dalam hal rububiyah-Nya,
uluhiyah-Nya, dan asma’ wa shifat-Nya, kandungan permohonan petunjuk
meniti jalan yang lurus, dan dikarenakan kebutuhan setiap muslim
terhadap petunjuk itu jauh berada di atas kebutuhannya terhadap apapun
dan lebih mendesak, maka surat ini pun disyari’atkan untuk dibaca di
setiap raka’at shalat. Di dalam Sahih Bukhari (756) dan Muslim (393)
dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca
Fatihatul Kitab.” Di dalam Sahih Muslim (878) dari Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda, “Barangsiapa mengerjakan shalat yang tidak membaca Ummul
Qur’an di dalamnya maka shalatnya pincang -tiga kali- yaitu tidak
sempurna.” Maka ditanyakan kepada Abu Hurairah, “Kalau kami sedang
berada di belakang imam, bagaimana?” Beliau menjawab, “Bacalah untuk
diri kalian sendiri, karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah ta’ala berfirman : ‘Aku
membagi shalat (Al Fatihah) antara Aku dengan hamba-Ku menjadi dua
bagian. Dan hamba-Ku akan mendapatkan apa yang dia minta.’ Kalau hamba
itu membaca, ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’, maka Allah ta’ala
menjawab, ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku’. Kalau dia membaca, ‘Ar
Rahmanirrahim’ maka Allah ta’ala menjawab, ‘Hamba-Ku menyanjung-Ku’.
Kalau ia membaca, ‘Maliki yaumid din’ maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku
mengagungkan Aku’. Kemudian Allah mengatakan, ‘Hamba-Ku telah pasrah
kepada-Ku’. Kalau ia membaca, ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ maka
Allah menjawab, ‘Inilah bagian untuk-Ku dan bagian untuk hamba-Ku. Dan
hamba-Ku pasti akan mendapatkan permintaannya.’. dan kalau dia membaca,
‘Ihdinash shirathal mustaqim, shirathalladziina an’amta ‘alaihim ghairil
maghdhubi ‘alaihim wa ladh dhaalliin” maka Allah berfirman, ‘Inilah hak
hamba-Ku dan dia akan mendapatkan apa yang dimintanya.’.”
Makna dari firman Allah di dalam hadits qudsi ini, “Kalau ia membaca,
‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ maka Allah menjawab, ‘Inilah bagian
untuk-Ku dan bagian untuk hamba-Ku. Dan hamba-Ku pasti akan mendapatkan
permintaannya.” ialah: kalimat yang pertama yaitu ‘Iyyaka na’budu’
mencakup ibadah, dan itu merupakan hak Allah. sedangkan kalimat yang
kedua (yaitu wa iyyaka nasta’in, pen) mengandung permintaan hamba untuk
memperoleh pertolongan dari Allah dan menunjukkan bahwa Allah berkenan
memberikan kemuliaan baginya dengan mengabulkan permintaannya.
Guru kami Muhammad Al Amin Asy Syinqithi mengambil kesimpulan hukum
dari surat Al Fatihah ini untuk menetapkan keabsahan kekhilafahan Abu
Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan di dalam
kitabnya Adhwa’ul Bayan (1/51), “Dari ayat yang mulia ini diambil
kesimpulan mengenai keabsahan kepemimpinan Abu Bakar Ash Shiddiq
radhiyallahu ‘anhu. Hal itu dikarenakan beliau termasuk golongan orang
yang disebut di dalam As Sab’ul Matsani dan Al-Qur’an Al ‘Azhim -yaitu
dalam surat Al Fatihah- yang Allah perintahkan kita untuk meminta
petunjuk kepada-Nya agar bisa meniti jalan mereka. Maka hal itu
menunjukkan bahwa jalan mereka adalah jalan yang lurus. Hal itu
sebagaimana disinggung dalam ayat-Nya, “Ihdinash shirathal mustaqim.
Shirathalladzina an’amta ‘alaihim.” Allah telah menerangkan siapa saja
golongan orang yang diberikan kenikmatan itu, dan di antara mereka
adalah orang-orang shiddiq. Sementara beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga telah menjelaskan bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu
termasuk kategori orang-orang shiddiq. Dengan demikian jelaslah bahwa
beliau pun termasuk dalam golongan orang-orang yang diberi kenikmatan
oleh Allah itu, itulah isi perintah Allah kepada kita yaitu memohon
petunjuk agar bisa berjalan di atas jalan mereka, sehingga tidak lagi
tersisa sedikit pun kesamaran bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu
benar-benar berada di atas jalan yang lurus, dan hal itu juga
menunjukkan bahwa kepemimpinan beliau adalah sah.”
***
Penulis: Syaikh Abdul Mushin Al ‘Abbad dari kitab ‘Min Kunuz al-Qur’an’ hal. 1-6
Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Muraja’ah Terjemahan: Ustadz Aris Munandar
Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Muraja’ah Terjemahan: Ustadz Aris Munandar
No comments: