» » Apa Prinsip dan Kaidah Bahasa Indonesia

Apa Prinsip dan Kaidah Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia : Prinsip dan Kaidah Bahasa Indonesia - Sebelum menginjak lebih lanjut ke pembahasan mengenai Apa Prinsip dan Kaidah Bahasa Indonesia, mungkin anda juga berminat membaca materi mengenai Teori-teori dalam belajar atau Contextual Teaching and Learning. Selanjutnya silahkan membaca Prinsip dan Kaidah Bahasa Indonesia.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Sebelum sampai pada pembahasan Bahasa Indonesia yang benar dan baik, terlebih dahulu kita perlu tahu bagaimana standar resmi pembakuan Bahasa Indonesia. Jika bahasa sudah memiliki baku atau standar yang sudah disepakati dan diresmikan oleh negara atau pemerintah, barulah dapat dibedakan antara pemakaian bahasa yang benar dan tidak.
Seperti yang ditulis di buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Depdiknas) tahun 1988, pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku itulah yang merupakan bahasa yang benar atau betul.
Bahasa sebagai salah satu sarana komunikasi antar sesama manusia tentunya bertujuan agar dapat dimengerti oleh manusia lainnya. Meskipun berbicara dalam satu bahasa yang sama, dalam hal ini Bahasa Indonesia, namun ragam bahasa yang dipakai tidaklah sama. Masing-masing kelompok menggunakan ragam yang berbeda.
“Orang yang mahir menggunakan bahasanya sehingga maksud hatinya mencapai sasarannya, apa pun jenisnya itu, dianggap berbahasa dengan efektif. Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat. Bahasa yang harus mengenai sasarannya tidak selalu perlu bergam baku” (Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988, halaman 19).
Jadi jika kita berbahasa benar belum tentu baik untuk mencapai sasarannya, begitu juga sebaliknya, jika kita berbahasa baik belum tentu harus benar, kata benar dalam hal ini mengacu kepada bahasa baku. Contohnya jika kita melarang seorang anak kecil naik ke atas meja, “Hayo adek, nggak boleh naik meja, nanti jatuh!” Akan terdengar lucu jika kita menggunakan bahasa baku, “Adik tidak boleh naik ke atas meja, karena nanti engkau bisa jatuh!”
Untuk itu ada baiknya kita tetap harus selalu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, yang berarti “pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan yang di samping itu mengikuti kaidah bahasa yang betul. Ungkapan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebaliknya mengacu ke ragam bahasa yang sekaligus memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran” (Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988, halaman 20).
Kalo kita cermati kutipan-kutipan di atas tentang apa itu bahasa Indonesia yang baik dan benar, erat sekali ya hubungannya dengan ragam bahasa. Berarti untuk lebih memahaminya kita juga perlu tahu apa saja ragam bahasa yang ada di dalam bahasa Indonesia. Sepertinya perlu pembahasan tersendiri mengenai hal itu. Jadi yang penting dalam masalah “yang baik dan benar” kali ini adalah kita tetap berbahasa sesuai keadaan, situasi, dengan siapa kita berbicara, dan untuk tujuan apa kita berbahasa.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kaidah Bahasa
Dari celetukan itu, ada beberapa hal yang perlu kita cermati. Pertama, tampaknya pengertian bahasa yang baik dan benar itu belum dipahami oleh sebagian orang. Kedua, ada anggapan bahwa di mana dan kapan saja berada, kita harus berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Apakah memang demikian? Abdul Gaffar Ruskhan: Kapan Berbahasa yang Baik dan Benar?
Setiap suksesi kepemimpinan (era Soekarno dan era Soeharto) selalu diikuti oleh pergantian idiom simbolis (akronim). Dalam memori masyarakat akronim lebih dikenal dan bertahan daripada kepanjangannya; orang lebih ingat dan mengenal akronim Kopkamtib, Bakorstranas, DPKSH, Ratih, tetapi tidak setiap orang ingat kepanjangannya. D. Jupriono: Akronim Birokrasi, Militer, dan Masyarakat Sipil dalam KBBI
Komoditi sebagai penulisannya yang benar, yang standar atau baku. Sebaliknya penulisan komoditas kita lupakan, kita tinggalkan karena salah, tidak bertaat asas pada kaidah EYD yang wajib kita junjung tinggi dalam penegakan hukum dalam segala bidang kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pikiran Rayat: Salah Kaprah Penulisan Kata Komoditas
Dalam acara yang serius, seperti tayangan berita, kata Remy, diperlukan bahasa Indonesia yang tertib. “Kemudian dalam acara yang tergolong populer, menyangkut semua aspek kemasyarakatan, kebudayaan dan kesenian seyogyanya tidak perlu ada pagar-pagar bahasa yang membuat bahasa menjadi kering, tidak mengalir, tidak intuitif, tidak hidup, sejauh tentu saja itu tidak merupakan bahasa yang kasar, tidak santun, dan tidak senonoh menurut kaidah moralitas statistik,” katanya. Gatra:Remy Sylado: Bahasa Televisi Harus Luwes
Kepatuhan setiap warga negara pada ketetapan yang digariskan oleh Pusat Bahasa seperti antara lain pembakuan kosa kata, dapat dipandang sebagai partisipasi aktif yang positif dalam membina terwujudnya bahasa Indonesia yang baik dan benar.Pikiran Rakyat: Pembakuan Kosa Kata Indonesia
Di pihak lain, pakar bahasa menyarankan pemakaian bahasa yang sesuai dengan kaidah, tetapi di pihak lain masyarakat masih terbiasa berbahasa dengan mengabaikan kaidah bahasa Indonesia. Namun, tidak berarti kesalahan itu kita biarkan berlarut-larut. Pontianak Post: Bagaimanakah Penulisan Unsur Serapan Bahasa Asing?
Hal yang membuat saya kaget adalah cetusan dari Prof. Sudjoko yang saat itu menjadi pembicara. Dia mengatakan bahwa selama ini kita telah salah menggunakan kata pemersatu. Menurutnya, kata yang benar adalah pembersatu, sesuai dengan makna yang dikandungnya. Pikiran Rakyat: Kita Baru ”Mersatu”, Belum ”Bersatu”
Akan tetapi, tampaknya dalam pemakaian bahasa Indonesia oleh masyarakat, baik bahasa formal atau bahasa sehari-hari, lisan atau tulisan, selera “pasar” juga berlaku, terlepas dari baku atau tidaknya. Pikiran Rakyat: Beberapa Curahan Hati tentang Pemakaian Bahasa Indonesia
Memang dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata atau frasa yang maknanya samar atau tidak jelas. Betapa sering pejabat Indonesia mengatakan, “Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, bla bla bla….” Tidak diinginkan oleh siapa? Tidak jelas. Apa hal-hal yang tidak diinginkan itu? Juga tidak jelas. Kompas: Sebelum Makan Siang
Perbedaan makna kata betina dengan wanita atau betina dengan perempuan itu sudah jelas bagi kita. Akan tetapi, apa beda antara wanita dan perempuan ini yang belum jelas! Sudarwati, D. Jupriono: Betina, Wanita, Perempuan: Telaah Semantik Leksikal, Semantik Historis, Pragmatik
Sehubungan dengan kata turunan (derivative word), kita mengenal gabungan kata yang terbentuk oleh kombinasi bentuk terikat atau dengan kata turunan atau dengan kata yang diawali huruf kapital/besar dan dibubuhi tanda hubung. Soehenda Iskar:Kaidah Penulisan Gabungan Kata
Yang mengherankan adalah bahwa dalam tulisan-tulisan surat kabar hampir selalu hipnotis (adjektiva) dipakai sebagai nomina, atau verba (mestinya: menghipnosis) dibentuk berdasarkan adjektiva. K Bertens: Hipnosis dan Hipnotis
Mayoritas penutur bahasa Indonesia sudah kerap mendengar atau mengenal EYD sebagai akronim dari Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan, tetapi belum memahami sepenuhnya. Baiklah kita telusuri makna sesungguhnya EYD ini.Soehenda Iskar: EYD itu apa?
Ada tiga macam konjungsi yaitu (a) konjungsi subordinatif dalam hubungan bertingkat/tak sederajat lazimnya dalam kalimat majemuk bertingkat, … Pikiran Rakyat: Konjungsi Bermasalah Nonbaku

2. Memaksimalkan Kaidah Bahasa
Pada zaman Orde Baru, kita sebagai pengguna bahasa Indonesia begitu patuh dengan prinsip ’gunakan Indonesia dengan baik dan benar’. Benar dan baik di sini didasarkan pada ukuran kebahasaan para penguasa pada waktu itu di mana mereka nyaris menjadi satu-satunya pihak yang menguasai ranah publik kebahasaan. Gaya bahasa penguasa pada waktu itu harus dipahami sebagai ukuran masyarakat umum untuk berbahasa sehingga orang yang berbeda, seperti almarhum Yus Badudu, pengajar bahasa Indonesia di TVRI, harus meninggalkan pekerjaannya karena dianggap tidak tahu bahasa Indonesia yang baik dan benar. Akibat penguasaan ini, kreativitas berbahasa masyarakat menjadi miskin, daya nalar dan imajinasi menjadi tumpul. Dalam kurun waktu tiga puluh lima tahun berkuasanya Orde Baru, masyarakat dicekoki kosa kata para pejabat yang bercerita tentang keberhasilan pembangunan yang serba verbalistik-formalistik.
Beberapa tahun belakangan, sejalan dengan reformasi, bahasa sekarang betul-betul menjadi ranah publik di mana tak seorang pun dan tak sekelompok pun bisa mengklaim cara berbahasa mereka lebih baik dan lebih benar dari yang lain. Perkembangan ini jelas positif karena memang bahasa adalah milik segenap lapisan masyarakat. Kenyataan ini merangsang setiap kelompok masyarakat baik para jurnalis, aktivis, politisi, ahli hukum, ekonom, seniman, agamawan, atau masyarakat biasa, untuk mengembangkan gaya bahasa mereka masing-masing. Perkembangan yang paling menarik adalah munculnya sekelompok orang yang menginginkan bahasa Indonesia dapat berfungsi lebih maksimal. Aspek fungsional di sini adalah bahwa bahasa tidak sekedar alat untuk berkomunikasi, namun bagaimana tata bahasa yang ada namun tidak pernah digunakan difungsikan secara maksimal untuk mendapatkan kata-kata baru yang lebih simpel namun efisien dan efektif.
Contoh yang sederhana saja adalah awalan ‘pe’. Sejak kecil kita tahu bahwa awalan pe yang berada di depan kata kerja berarti pelaku atau orang yang melakukan. Pencuri artinya orang yang mencuri, penulis artinya orang yang menulis, dan seterusnya. Namun awalan ini hanya digunakan dengan kata-kata yang itu-itu saja, dan jarang digunakan dengan kata-kata lain yang baru. Berapa banyak di antara kita yang menggunakan kata-kata: pesinetron, pebulutangkis, pesepakbola, pebasket, pedangdut, pesepeda, pesepaturoda, pemobil, pemotor, pebecak, dan banyak lagi kata-kata baru yang sebenarnya ada dalam struktur tata bahasa kita, namun karena kita tidak kreatif, mereka nyaris tidak pernah meluncur. Pada umumnya kita menggunakan kata-kata: pemain sinetron, pemain bulutangkis, pemain sepakbola, pemain basket, penyanyi dangdut, pengendara sepeda, pemakai sepatu roda, pengendara mobil, pengendara motor, dan tukang becak. Kelihatannya ini masalah sepele. Namun gejala ini merupakan cerminan dari daya kreativitas yang rendah untuk membuat kata-kata yang sederhana namun efektif.
Bila pola ini diteruskan kita akan mendapatkan banyak kata untuk mendapatkan istilah-istilah yang lebih fungsional. Coba, untuk menerjemahkan kata Inggris timer saja, paling tidak kita butuh dua atau kadang tiga kata: ”penghitung waktu” atau ”alat penghitung waktu”. Kedua istilah ini jelas terlalu panjang. Mengapa kita tidak memfungsikan awalan pe sehingga kita mendapatkan kata”pewaktu”—artinya yang menentukan waktu—yang lebih pendek. Bila awalan ini kita kombinasikan dengan akhiran an, kita akan mendapatkan kata ”pewaktuan” sebagai ganti ”penentuan waktu” atau ”pemilihan waktu”. Terdengar aneh? Memang, namun lama kelamaan akan terbiasa. Ketika pertama kali sebuah kata ditemukan, maknanya sebenarnya dipaksakan secara sistematis bagi para pendengarnya. Bila mereka menyukainya, maka ia akan diterima dan menjadi milik bersama. Bila tidak, ia akan hilang begitu saja. Ada negosiasi antara si pembuat atau penemu kata dengan para pendengarnya.
Kasus awalan pe ini adalah salah satu kasus kecil saja dari sekian banyak kasus yang ada dalam kebiasaan berbahasa kita yang cenderung monoton dan tidak kreatif. Inilah sebenarnya makna prinsip bahwa bahasa menunjukkan bangsa. Prinsip ini tidak hanya bermakna bahwa kita adalah pemakai bahasa yang berbeda dengan bahasa masyarakat lainnya di dunia, namun juga menyiratkan bagaimana bahasa yang kita miliki melahirkan sebuah sistem pengetahuan yang canggih yang dapat mengatasi berbagai persoalan kebahasaan. Dulu kita hanya tahu bahwa untuk adalah kata depan. Namun dengan kombinasi awalan perdan akhiran an ditemukan kata peruntukan, seperti dalam kalimat, Pembangunan di Jakarta banyak melanggar peruntukan tanah, kata untuk menjadi konsep yang canggih.
Beberapa tahun yang lalu, dalam sebuah tulisannya tentang masyarakat madani, Dawam Rahardjo ”menemukan” kata kesalingan (hormat menghormati, harga menghargai, sayang menyayangi, cinta mencintai, dst) untuk menyebut prinsip yang mendasari terbentuknya masyarakat ini. Kata itu ia gunakan untuk menerjemahkan kata Inggris mutuality. Mungkin kata ini sudah digunakan sebelumnya oleh orang lain. Namun yang penting adalah munculnya kesadaran untuk memfungsikan kata-kata Indonesia yang ternyata mampu untuk tampil ringkas dan padat.
Di samping memfungsikan kaidah-kaidah bahasa yang tidur, kalangan fungsionalis juga mengusahakan kosa kata bahasa Indonesia dapat dipergunakan secara luas untuk menerjemahkan kata-kata asing. Tentu kita sadar betapa banyak kata-kata asing berseliweran di tengah-tengah kita dan kita tidak melakukan apa-apa. Di bidang media ada headline news, host, presenter, breaking news; di bidang ekonomi:profit taking, rebound, capital flight, hot money; di bidang cyber media: down load, browsing,searching, connecting, blogging, dan banyak lagi. Pendek kata serbuan kata-kata asing terjadi di semua bidang kehidupan. Mungkin ada ratus bahkan ribuan istilah-istilah asing yang ditelan ’bulat-bulat’ oleh masyarakat kita. Bila ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin lima sampai sepuluh tahun ke depan, bahasa Indonesia tidak akan banyak berbeda dengan bahasa Inggris. Apalagi masyarakat kita—terutama para artis dan penyanyi yang terlanjur merasa menjadi public figure, padahal sebenarnya adalah figur yang dikenal publik—merasa lebih hebat bila dalam percakapan mereka diselingi kata-kata Inggris untuk memberi kesan bahwa mereka sering wara-wiri ke luar negeri.
Kalangan fungsionalis menggunakan kata-kata yang ada dalam perbendaharaan bahasa Indonesia untuk menerjemahkan istilah-istilah asing. Beberapa tahun yang lalu, kita tentu masih ingat penggunaan istilah “illegal logging” untuk menyebut praktik pencurian dan penebangan kayu secara liar. Sekarang kita mempunyai istilah “pembalakan liar”. Dan sekarang istilah ini digunakan secara luas. Munculnya istilah ini menyadarkan kita bahwa ternyata bahasa Indonesia mampu berfungsi lebih maksimal lagi.
Bicara tentang fungsionalisasi bahasa, mungkin ada baiknya kita perhatikan sejenak bagaimana kaum pinggiran, anggota masyarakat biasa yang terdiri dari para supir, kenek, pengojek, pembecak, dan semacamnya, membuat istilah. Untuk pengecatan seluruh permukaan mobil, mereka punya istilah menyiram; memotong per agar mobil lebih rendah menceperkan; mengutak-atik mesin agar mobil berlari kencang mengilik; mobil yang dipercayakan pada seorang supir batangan. Mereka juga yang menemukan istilah dangdutan, menikmati pertunjukan musik dangdut; cabutan, pemain dari kampung lain yang disewa dalam sebuah pertandingan; tarikan, barang yang ditarik dari pemiliknya karena tidak bisa membayar cicilan; tujuhbelasan, memperingati tujuh belas agustus; tahunbaruan, memperingati malam tahun baru. Jadi, siapa sebenarnya yang lebih kreatif?
3. Berbahasa Yang Baik Dan Benar
Bangsa Indonesia beruntung memiliki bahasa Indonesia yang berkududukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia digunakan sebagai lambang idendtitas nasional, lambang kebanggaan nasional, alat pemersatu bangsa dan alat komunikasi antarsuku bangsa. Sedangkan sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa administrasi negara, bahasa pengantar di lembaga pendidikan dan sebagai alat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya.
Keberhasilan bangsa Indonesia menjadikan bahasa Indonesia menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara tak terlepas dari perjuangan pemuda generasi tahun 20-an melalui ikrar Sumpah Pemuda. Ikrar Sumpah Pemuda merupakan peristiwa penting sebab melibatkan kepentingan kehidupan nasional dan generasi muda. Sumpah Pemuda juga menyatakan kebulatan tekad sosial, budaya dan politik yamg menjiwai perjuangan generasi Indonesia pada masa sekarang. Karena itu, Sumpah Pemuda merupakan tonggak sejarah yang amat penting, baik pada masa itu dan lebih-lebih bagi pertumbuhan bangsa Indonesia di masa sekarang dan mendatang.
Sumpah Pemuda merupakan jaringan pernyataan kebulatan tekad yang dijalin oleh tiga unsur yang berkaitan erat dan memiliki hubungan timbal balik. Tiga unsur tersebut adalah bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Amran Halim berpendapat bahwa penghayatan dan penerapan isi dan semangat ketiga unsur itulah yang dimaksud dengan pembinaan bahasa Indonesia. Dengan kata lain, pembinaan bahasa Indonesia adalah proses sosial budaya dan kebahasaan yang bertujuan menempatkan bahasa Indonesia pada kedudukannya yang terhormat dalam kemasyarakatan bangsa Indonesia. Masalah pembinaan bahasa Indonesia adalah masalah yang menyangkut pemeliharaan bahasa Indonesia. Sedangkan salah satu wujud pembinaan bahasa Indonesia adalah terselenggaranya pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar oleh masyarakat Indonesia. Dengan demikian, masalah pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah masalah nasional Indonesia. Bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa cocok dengan situasi pemakaiannya. Ada dua situasi pemakaian bahasa, yaitu situasi resmi dan tidak resmi. Situasi resmi adalah situasi kebahasaan yang berkaitan dengan masalah kedinasan, keilmuan, berbicara di depan umum dan berbicara dengan orang dihormati misalnya mengajar, surat-menyurat, membuat laporan, karya ilmiah, berbicara dengan atasan dan guru. Pada situasi seperti ini selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga sebagai alat untuk menyampaikan gagasan. Karena itu, perlu menggunakan bahasa baku. Sedangkan situasi tidak resmi adalah pemakaian bahasa dalam pergaulan sehari-hari dengan masalah pokok keseharian. Obrolan di warung, tawar-menawar di pasar adalah contoh situasi kebahasaan tidak resmi. Pada situasi seperti ini, bahasa hanyalah merupakan alat komunikasi. Asal lawan bicara memahami maksud pembicaraan memadailah bahasa tersebut. Penyimpangan kaidah bukanlah hal yang tercela benar, asal pelanggaran tidak mengubah makna. Bahkan penyisipan bahasa asing atau daerah bukanlah suatu hal yang tidak mustahil. Bahasa Indonesia yang benar adalah bahasa Indonesia yang penggunaannya selalu menaati kaidah bahasa Indonesia (baku). Menurut Suwito, ada beberapa ciri kebahasaan ragam baku antara lain kebakuan ejaan, peristilahan, kosakata, tata bahasa dan lafal. Ragam baku bahasa Indonesia ialah bahasa Indonesia yang tata cara dan tertib penulisannya mengikuti ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan serta tertib dalam pembentukan istilahnya yang berpedoman kepada pedoman umum pembentukan istilah bahasa Indonesia. Bahasa baku harus menggunakan kata-kata baku seperti bagaimana, mengapa, memberi bukannya gimana, kenapa, kasih dan sebagainya. Selain itu, bahasa baku harus taat asas pada kaidah ketatabahasaan yaitu konsisten menggunakan hukum diterangkan menerangkan pada pembentukan kata serta menggunakan subjek predikat dalam pembentukan kalimat. Pada bahasa lisan, ragam baku bahasa Indonesia adalah ragam bahasa yang relatif bebas dari atau sesedikit mungkin diwarnai oleh lafal bahasa daerah atau dialek setempat.
Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah penggunaan bahasa Indonesia yang sesuai situasinya dan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Berdasar asumsi ini, ada dua syarat utama yang harus dipenuhi pemakai bahasa Indonesia agar pemakaian bahasa Indonesia-nya baik dan benar. Syarat tersebut adalah memahami secara baik kaidah bahasa Indonesia dan memahami benar situasi kebahasaan yang dihadapi. Seseorang yang menggunakan bahasa baku dalam situasi resmi dan menggunakan ragam tidak baku dalam situasi tidak resmi adalah orang yang mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar karena sesuai dengan fungsi dan situasinya.
Agar bisa memakai bahasa Indonesia secara baik dan benar, maka perlu adanya sikap positif para pemakai bahasa Indonesia. Menurut Garvin dan Mathiot, sikap ini setidaknya mengandung tiga ciri pokok yaitu kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa dan kesadaran akan adanya norma bahasa. Kesetiaan adalah sikap yang mendorong masyarakat untuk mempertahankan kemandirian bahasanya. Kebanggaan bahasa adalah sikap yang mendorong orang atau sekelompok menjadikan bahasanya sebagai identitas pribadi atau kelompoknya sekaligus membedakan dengan yang lain. Sedangkan kesadaran adanya norma adalah sikap yang mendorong penggunaan bahasa secara cermat, korek, santun dan layak. Kesadaran demikian merupakan faktor yang menentukan dalam perilaku tutur. Sikap tidak ada gairah untuk mempertahankan kemandirian bahasanya, mengalihkan kebanggaan kepada bahasa lain yang bukan miliknya dan sikap tidak memelihara cermat bahasa dan santun bahasanya harus dicegah karena akan merugikan pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia.
Karena itu, sebagai wujud penghargaan dan perhormatan terhadap pahlawan bangsa yang telah mencetuskan ikrar Sumpah Pemuda, marilah kita tumbuh kembangkan sikap positif terhadap bahasa Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Kesimpulan.
Setiap suksesi kepemimpinan (era Soekarno dan era Soeharto) selalu diikuti oleh pergantian idiom simbolis (akronim). Dalam memori masyarakat akronim lebih dikenal dan bertahan daripada kepanjangannya; orang lebih ingat dan mengenal akronim Kopkamtib, Bakorstranas, DPKSH, Ratih, tetapi tidak setiap orang ingat kepanjangannya. D. Jupriono: Akronim Birokrasi, Militer, dan Masyarakat Sipil dalam KBBI
Komoditi sebagai penulisannya yang benar, yang standar atau baku. Sebaliknya penulisan komoditas kita lupakan, kita tinggalkan karena salah, tidak bertaat asas pada kaidah EYD yang wajib kita junjung tinggi dalam penegakan hukum dalam segala bidang kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pikiran Rayat: Salah Kaprah Penulisan Kata Komoditas
Pada zaman Orde Baru, kita sebagai pengguna bahasa Indonesia begitu patuh dengan prinsip ’gunakan Indonesia dengan baik dan benar’. Benar dan baik di sini didasarkan pada ukuran kebahasaan para penguasa pada waktu itu di mana mereka nyaris menjadi satu-satunya pihak yang menguasai ranah publik kebahasaan. Gaya bahasa penguasa pada waktu itu harus dipahami sebagai ukuran masyarakat umum untuk berbahasa sehingga orang yang berbeda, seperti almarhum Yus Badudu, pengajar bahasa Indonesia di TVRI, harus meninggalkan pekerjaannya karena dianggap tidak tahu bahasa Indonesia yang baik dan benar. Akibat penguasaan ini, kreativitas berbahasa masyarakat menjadi miskin, daya nalar dan imajinasi menjadi tumpul. Dalam kurun waktu tiga puluh lima tahun berkuasanya Orde Baru, masyarakat dicekoki kosa kata para pejabat yang bercerita tentang keberhasilan pembangunan yang serba verbalistik-formalistik.
Beberapa tahun belakangan, sejalan dengan reformasi, bahasa sekarang betul-betul menjadi ranah publik di mana tak seorang pun dan tak sekelompok pun bisa mengklaim cara berbahasa mereka lebih baik dan lebih benar dari yang lain. Perkembangan ini jelas positif karena memang bahasa adalah milik segenap lapisan masyarakat. Kenyataan ini merangsang setiap kelompok masyarakat baik para jurnalis, aktivis, politisi, ahli hukum, ekonom, seniman, agamawan, atau masyarakat biasa, untuk mengembangkan gaya bahasa mereka masing-masing. Perkembangan yang paling menarik adalah munculnya sekelompok orang yang menginginkan bahasa Indonesia dapat berfungsi lebih maksimal. Aspek fungsional di sini adalah bahwa bahasa tidak sekedar alat untuk berkomunikasi, namun bagaimana tata bahasa yang ada namun tidak pernah digunakan difungsikan secara maksimal untuk mendapatkan kata-kata baru yang lebih simpel namun efisien dan efektif.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.opensubscriber.com/message/zamanku@yahoogroups.com/7885139.html
Polisi eyd | http://polisieyd.blogsome.com/kaidah-berbahasa/
http://id.shvoong.com/humanities/1896428-apa-itu-bahasa-indonesia-yang/
http://www.bahasakita.com/articles/memaksimalkan-kaidah-bahasa/
http://aditsniper.blogspot.com/2010/12/berbagi-makalah-kaidah-dan-prinsip.html

About Silvia

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply