» » Pendidikan islam dan tantangan modernitas

Sumber-mu : Pendidikan Islam Kontemporer - Pendidikan islam dan tantangan modernitas - Pembahasan dalam hal ini cukup menarik, namun ada juga materi lainnya yang menarik seperti Jaringan Informasi lumba-lumba melawan internet dan Ruang lingkup sejarah pendidikan islam. Selanjutnya silahkan simak materi di bawah ini.
PENDAHULUAN
Istilah tantangan modernitas mencerminkan dua kesadaran sekaligus. Istilah tantangan merefleksikan kesadaran psikologis bahkan mungkin teologis. Ada perasaan insekuritas (ketidak amanan) dan ketidak tenangan dalam diri seorang muslim, baik sebagai individu maupun kelompok didalam menjalani kehidupan era modern. Sedang istilah modernitas merefleksikan kesadaran kesejarahan yang dengan tegas menyatakan bahwa era dimana kita hidup sekarang ini adalah tidak sama dan sebangun dengan era dimana nenek dan kakek kita dahulu hidup. Kesadaran akan adanya modernitas itu muncul kepermukaan dengan sendirinya setelah adanya beraneka macam perubahan-perubahan sebagai dampak penemuan ilmu dan teknologi ( IPTEK ). Amin Abdullah, ( 1997 : 3). Dengan kata lain, “modernisme” pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dengan kebangkitan gagasan dan program modernisme Islam, khususnya di Timur Tengah sejak paroan kedua abad ke-19. Kerangka dasar yang berada di balik “modernisme” Islam secara keseluruhan adalah bahwa “modernisme” pemikiran dan kelembagaan Islam merupakan prasyarat agar kaum muslimin dapat keluar dari kemunduran dan keterbelakangannya ris-a-ris Barat. Jadi, modernisme pendidikan merupakan prasyarat terpenting bagi kebangkitan kaum Muslim di masa modern. Karena itu, pemikiran dan kelembagaan Islam-termasuk pendidikan- haruslah dimodernisasi, sederhananya diperbaharui atau direkonstruksi kembali agar mampu merespon tantangan “modernitas”. Sebaliknya, mempertahankan pemikiran dan kelembagaan Islam “tradisional” hanya akan memperpanjang nestapa ketidakberdayaan kaum Muslimin dalam berhadapan dengan kemajuan dunia modern.
Tetapi bagaimanakah sebenarnya hubungan antara “modernisasi” dan pendidikan lebih khusus lagi dengan pendidikan Islam di Indonesia ? Modernisasi di Indonesia lebih dikenal dengan istilah “pembangunan” (development) adalah proses multi dimensional yang kompleks. Pada satu segi pendidikan dipandang sebagai suatu variabel modernisasi. Dalam konteks ini pendidikan dianggap merupakan prasyarat dan kondisi yang mutlak bagi masyarakat untuk menjalankan program dan mencapai tujuan-tujuan modernisasi atau pembangunan. Tanpa pendidikan yang memadai, akan sulit bagi masyarakat maupun untuk mencapai kemajuan. Karena itu banyak ahli pendidikan yang berpandangan bahwa “pendidikan merupakan kunci yang membuka pintu ke arah modernisasi” “Harbison & Meyers, (1964: 181).
Tetapi di segi lain, pendidikan sering pula dianggap sebagai obyek modernisasi. Dalam konteks ini, pendidikan di negara-negara yang tengah menjalankan program modernisasi pada umumnya dipandang masih terbelakang dalam berbagai hal dan karena itu sulit diharapkan bisa memenuhi dan mendukung program modernisasi, sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulkan kepadanya.
Pendidikan dalam masyarakat modern atau masyarakat yang tengah bergerak ke arah modern (modernizing) pada dasarnya berfungsi untuk memberikan kaitan antara anak didik dengan lingkungan sosio-kulturalnya yang terus berubah. Dalam banyak hal pendidikan secara sadar digunakan sebagai instrumen untuk perubahan dalam sistem politik dan ekonomi.
Sebagaimana disimpulkan Shipman (1972 33-35), fungsi pokok pendidikan dalam masyarakat modern terdiri dan tiga bagaian : sosialisasi, penyekolahan (schooling), dan pendidikan (education). Sebagai lembaga sosialisasi, pendidikan adalah wahana bagi integrasi anak didik ke dalam nilai-nilai kelompok atau nasional yang dominan. Adapun penyekolahan (schooling) mempersiapkan mereka untuk menduduki posisi sosial ekonomi tertentu dan karena itu penyekolahan harus membekali peserta didik dengan kualifikasi tertentu dan karena itu penyekolahan harus membekali peserta didik dengan kualifikasi-kualifikasi pekerjaan dan profesi yang akan membuat mereka mampu memainkan peran dalam masyarakat. Sedangkan dalam fungsi ketiga, pendidikan merupakan “education” untuk menciptakan kelompok elit yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan besar bagi kelanjutan program modernisasi.
Untuk mencapai semua tujuan ini, pendidikan dalam proses modernisasi akan mengalami perubahan fungsional dan antar sistem. Perubahan-perubahan tersebut pada tingkat konseptual dapat dirumuskan dengan menggunakan pendekatan sistem-sistem” (system approach). Don Adams (1970) yang menggunakan “pendekatan sistem-sistem” ini dalam kajian pendidikan dan modernisasi menemukan variabel-variabel yang relevan bagi transformasi pendidikan. Variabel-variabel ini dapat pula diterapkan dalam agenda modernisasi pendidikan Islam dan konteks Indonesia secara keseluruhan.
INPUT DARI  MASYARAKAT KE DALAM SASTEM PENDIDIKAN
Ideologis-normatif
Orientasi-orientasi ideologis tertentu yang diekspresikan dalam norma-norma nasional (Pancasila, misalnya) menuntut sistem pendidikan untuk memperluas dan memperkuat wawasan nasional anak didik. Bagi negara-negara yang relatif baru merdeka di mana integrasi nasional merupakan suatu agenda pokok, maka orientasi ideologis-normatif ini sangat ditekankan dalam sistem pendidikan nasional. Dalam kerangka ini pendidikan dipandang sebagai instrumen terpenting bagi pembinaan “national building”. Sangat boleh jadi orientasi “ideologis” lama-katakanlah Islam- lambat atau cepat tergeser oleh orientasi ideologis nasional baru tadi. Atau setidaknya, terjadi semacam situasi anomali atau bahkan krisis identitas ideologis.
Mobilisasi Politik
Kebutuhan bagi modernisasi dan pembangunan menuntut sistem pendidikan untuk mendidik, mempersiapkan dan menghasilkan kepemimpinan modernitas dan inovator yang dapat memelihara dan bahkan meningkatkan momentum pembangunan. Tugas yang terutama terpikul pada lembaga pendidikan tinggi, mengharuskan lembaga pendidikan tinggi Islam-seperti IAIN/STAIN misalnya, untuk menerapkan lembaga kurikulum yang lebih berorientasi pada modernisme dan modernitas, dengan memperhatikan faktor filosofis, sosiologis, psikologis dan epistemologis (S. Nasution : 1995 : 5).
Mobilisasi ekonomi
Kebutuhan akan tenaga kerja yang andal menuntut sistem pendidikan untuk mempersiapkan anak didik menjadi SDM yang unggul dan mampu mengisi berbagai lapangan kerja yang tercipta dalam proses pembangunan. Difersifikasi yang terjadi dalam sektor-sektor ekonomi, bahkan mengharuskan sistem pendidikan untuk melahirkan SDM yang spesialis dalam berbagai bidang profesi. Dalam konteks ini, lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak memadai lagi sekedar menjadi lembaga “transfer” dan “transmisi” ilmu-ilmu Islam, tetapi sekaligus juga harus dapat memberikan keterampilan (skill) dan keahlian (abilites).
Mobilisasi sosial
Peningkatan harapan bagi mobilitas sosial dalam modernisasi menuntut sistem pendidikan untuk memberikan akses dan rute ke arah tersebut. Pendidikan Islam, dengan demikian, tidak cukup lagi menjadi sekedar pemenuhan kewajiban menuntut ilmu belaka, tetapi harus juga dapat memberikan modal dan dengan demikian, kemungkinan akses bagi peningkatan sosial.
Mobilisasi kultural
Modernisasi yang menimbulkan perubahan-perubahan kultural menuntut sistem pendidikan untuk mampu memelihara stabilitas dan mengembangkan warisan kultural yang kondusif bagi pembangunan. Dalam konteks pendidikan Islam, khususnya pesantren, yang mempunyai “sub-kultur” sendiri yang khas itu, semua ini berarti “penilaian ulang” terhadap lingkungan kultumya tersebut.
Pada saat yang sama variabel-variabel yang tercakup dalam transformasi sistem pendidikan adalah sebagai berikut:

Modernisasi administratif
Modernisasi menuntut diferensisasi sistem pendidikan untuk mengantisipasi dan mengakomodasi berbagai kepentingan diferensiasi sosial, teknik, dan manajerial. Antisipasi dan akomodasi tersebut haruslah dijabarkan dalam bentuk formulasi, adopsi dan implementasi kebijakan pendidikan pada tingkat nasional, regional dan lokal. Dalam konteks modernisasi administratif ini, sistem dan lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren, pada umumnya baru mampu melakukan reformasi dan modernisasi administratif secara terbatas. Kebanyakannya masih berpegang pada kerangka “administrasi tradisional”, termasuk dalam aspek kepemimpinan, sehingga pesantren tidak mampu mengembangkan diri secara baik.
Diferensiasi struktural
Pembagian dan diferifikasi lembaga-lembaga pendidikan sesuai dengan fungsi-fungsi yang akan dimainkannya. Dengan demikian, dalam masyarakat yang tengah mengalami proses modernisasi, lembaga pendidikan yang bersifat umum saja tidak lagi memadai. Lebih khusus lagi, sistem pendidikan Islam, seperti pesantren, haruslah memberikan peluang dan bahkan mengharuskan pembentukan lembaga-lembaga pendidikan khusus yang diarahkan untuk mengantisipasi diferensiasi sosial ekonomi yang terjadi. Sistem pendidikan Islam, khususnya pesantren sejauh ini kelihatannya belum mempunyai arah yang pasti tentang diferensiasi struktural yang harus dilakukan, apakah tetap dalam diferensiasi keagamaannya-yang dilihat dari kerangka modernisasi mungkin tidak lagi memadai-atau mengembangkan diferensiasi di luar bidang itu, misalnya melalui “pesantren pertanian”, “pesantren agro-bisnis”, “pesantren politeknik”, dan lain-lain.
Ekspansi kapasitas
Perluasan sistem pendidikan untuk menyediakan pendidikan bagi sebanyak-banyaknya peserta didik sesuai dengan kebutuhan yang dikehendaki berbagai sektor masyarakat. Pada satu segi, sistem dan kelembagaan pendidikan Islam sebenarnya sudah sejak lama melakukan ekspansi kapasitas–termasuk dengan terus berdirinya banyak pesantren baru di berbagai tempat–sehingga pesantren dari sudut ini dapat disebut sebagai “pendidikan rakyat” yang cukup memassal. Tetapi, pada pihak lain, ekspansi kapasitas itu terjadi tanpa memperhitungkan kebutuhan berbagai sektor masyarakat, khususnya menyangkut lapangan kerja yang tersedia. Akibatnya, banyak tamatan pesantren tidak mampu menemukan tempatnya yang “pas” dalam masyarakat.
Transformasi dengan mempertimbangkan semua variabel di atas, pada gilirannya akan menghasilkan output pendidikan yang merupakan input bagi .masyarakat sebagai berikut:
Perubahan sistem nilai
Dengan memperluas “peta kognitif’ peserta didik, maka pendidikan menanamkan nilai-nilai yang merupakan alternatif bagi sistem nilai tradisional. Perluasan wawasan ini akan merupakan pendorong bagi tumbuh dan berkembangnya “semangat untuk berprestasi” (n-ach, need of achievment), dan mobilitas sosial. Persoalannya kemudian, sejauhmana sistem dan lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren, yang secara sadar mengorientasikan diri pada perluasan “peta kognitif” ini, bahkan sebaliknya terdapat kesan yang kuat, bahwa pesantren tetap berkutat pada “normativisme” dan dogmatisme lama yang kurang memberikan kesempatan bagi pengembangan kognisi dan kreativitas.
Output politik
Kepemimpinan modernitas dan innovator yang secara langsung dihasilkan sistem pendidikan dapat diukur dengan perkembangan kuantitas dan kekuatan birokrasi sipil-militer, intelektual dan kader-kader administrasi politik lainnya, yang direkrut dan lembaga-lembaga pendidikan-terutama pada tingkat menengah dan tinggi. Di sini, kepemimpinan yang dihasilkan lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya pada tingkat menengah seperti pesantren, kelihatannya sebagian besar masuk ke dalam “kepemimpinan tradisional”, tegasnya kepemimpinan keagamaan, yang tentunya berhasil dicapai setelah mendapatkan “pengakuan” dari masyarakat. Sedangkan pada tingkat pendidikan tinggi-dalam hal ini IAIN-selain melahirkan kepemimpinan tradisional tadi, tetapi dalam batas tertentu juga melahirkan inteleknial dan birokrat, dan segelintir yang masuk ke lingkungan militer terutama menjadi “rohis”. Penyejajaran madrasah, melalui UUSP 1989, dengan sekolah umum, pada segi lain membuka peluang lebih besar bagi spektrum kemunculan lapisan-lapisan kepemimpinan di atas dari sistem dan kelembagaan pendidikan Islam.
Output ekonomi
Ini dapat diukur dari tingkat ketersediaan SDM atau tenaga kerja yang terlatih dan siap pakai, baik white collar maupun blue collar. Hal ini harus diakui masih merupakan suatu masalah besar yang dihadapi sistem dan lembaga pendidikan Islam. Belum terdapat link and match yang jelas dan kuat antara sistem dan lembaga pendidikan Islam dengan masalah tenaga kerja yang terlatih dan siap pakai tersebut.
Output sosial
Dapat dilihat dari tingkat integrasi sosial dan mobilitas peserta didik ke dalam masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal integrasi sosial, output sistem dan lembaga pendidikan Islam kelihatannya relatif berhasil, karena didukung oleh faktor kependudukan Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Tetapi dalam hal mobilitas sosial, sistem dan kelembagaan pendidikan Islam kelihatannya belum lagi kelihatan signifikansinya.
Output kultural
Tercermin dari upaya-upaya pengembangan kebudayaan ilmiah, rasional dan inovatif; peningkatan peran integratif agama; dan pengembangan bahasa pendidikan. Pada tingkat pendidikan tinggi, sistem dan kelembagaan pendidikan Islam-dalam hal ini, IAIN-sulit diingkari sedikit banyak telah mampu mengembangkan kebudayaan ilmiah dan rasional. Bahkan IAIN juga mampu mengembangkan paradigma keislaman yang lebih integratif, dengan pendekatannya yang non-mazhab. Tetapi pada tingkat lembaga pendidikan yang lebih rendah, kebudayaan ilmiah, rasional dan inovatif kelihatannya belum banyak berkembang. (Azyumardi;1997 : 8)
Modernisasi Pendidikan di Indonesia
Kemunculan modernisasi pendidikan Islam di Indonesia, sebagaimana kerangka di atas, berkaitan erat dengan pertumbuhan gagasan modernisme Islam di kawasan ini. Gagasan modernisme Islam yang menemukan momentumnya sejak awal abad 20, pada lapangan pendidikan direalisasikan dengan pembentukan lembaga-lembaga pendidikan modern yang diadopsi dari sistem pendidikan kolonial Belanda. Pemrakarsa pertama dalam hal ini adalah organisasi-organisasi “modernis” Islam seperti Jami’at Khair, al-Irsyad, Muhammadiyah, dan lain-lain. (Nurchalis Madjid : 2091)
Pada awal perkembangan adopsi gagasan modernisme pendidikan Islam ini setidak-tidaknya terdapat dua kecenderungan pokok dalam eksprimentasi organisasi-orgamsasi Islam di atas. Pertama adalah adopsi sistem dan lembaga pendidikan moderen secara hampir menyeluruh. Titik tolak modernisme pendidikan Islam di sini adalah sistem dan kelembagaan pendidikan moderen (Belanda), bukan sistem dan lembaga pendidikan Islam tradisional.
Eksperimen ini terlihat jelas dilakukan oleh Abdullah Ahmad dengan Madrasah Adabiyah yang kemudian diubah menjadi Sekolah Adabiyah (1915). Hanya terdapat sedikit ciri dan unsur dalam kurikulum sekolah (HIS) Adabiyah dengan Sekolah Belanda. Selain mengadopsi sèluruh kurikulum HIS Belanda. Sekolah Adabiyah menambahkan pelajaran agama 2 jam sepekan.
Selaras dengan itu, Muhammadiyah mengadopsi sistem dan kelembagaan pendidikan Belanda secara cukup konsisten dan menyeluruh misalnya dengan mendirikan sekolah-sekolah ala Belanda, seperti MULO, HIS, dan lain-lain. Sementara itu, sekolah-sekolah Muhammadiyah membedakan diri dengan sekolah-sekolah Belanda dengan memasukkan “pendidikan agama”, (persisnya, dalam istilah Muhammadiyah sendiri, met de Qur‘an) ke dalam kurikulumnya. Karena itu, sekolah-sekolah Muhammadiyah sebenarnya dapat disebut sebagai “sekolah umum Belanda) plus”. Muhammadiyah dalam batas tertentu juga mencoba bereksperimen dengan sistem dan kelembagaan madrasah moderen dengan mendirikan Madnsah Mu’allimin dan Madrasah Mu’allimat. Tetapi sama dengan sistem dan kelembagaan sekolah-sekolahnya, madrasah yang dikembangkan Muhammadiyah ini tidaklah menjadikan sistem dan kelembagaan pendidikan Islam tradisional apakah surau ataupun pesantren sebagai basisnya.
Pada pihak lain terdapat eksperimentasi yang bertitik tolak justru dari sistem dan kelembagaan pendidikan Islam itu sendini. Di sini lembaga pendidikan Islam yang sebenarnya telah ada sejak waktu lama dimodernisasi, sistem pendidikan madrasah atau sura, pondok dan pesantren, yang memang secara tradisional merupakan kelembagaan pendidikan Islam indigenous, dimodernisasi misalnya dengan meragadopsi aspek-aspek tertentu dari sistem pendidikan modern, khususnya dalam kandungan kurikulum, teknik dan metode pengajaran dan sebagainya.
Eksperimen semacam ini agaknya pertama kali dilakukan Pesantren Manba’ul Ulum, Surakarta pada 1906. Sebagaimana pesantren lainnya, Pesantren ini mempunyai basisi pada pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu tradisional Islam, seperti AI-Qur’an, hadits, figh, bahasa dan lain-lain. Juga terdapat mata pelajaran mantiq, aljabar, dan ilmu falak. Selain itu Pesantren Manba’ui Ulum juga memasukkan beberapa mata pelajaran modern ke dalam kurikulumnya, seperti membaca (huruf latin), dan berhitung.
Eksperimen lebih terkenal dilakukan H. Abdul Karim Amrullah yang pada 1916 menjadikan Surau Jembatan Besi lembaga pendidikan tradisional Islam Minangkabau sebagai basis untuk pengembangm madrasah modern, yang kemudian iebih dikenal sebagai Sumatera Thawalib. Berbarengan dengan itu, Zainuddin Labay el-Yunusi mengembangkan Madrasah Diniyyah, yang pada awal perkembangannya merupakan “madrasah sore” untuk memberikan pelajaran agama kepada murid-murid sekolah “gubememen”.
Upaya menjadikan sistem dan lembaga pendidikan indigenous dalam hal ini pesantren sebagai basis dalam pengembangan sistem dan kelembagaan pendidikan Islam pada masa lebih belakang (1926) kembali dilakukan di Pulau. Jawa dengan pembentukan Pondok Modern Gontor Ponorogo. Gagasan yang berada di belakang pembentukan Pondol Modern adalah kesadaran bahwa perlunya modernisasi sistem dan kelembagaan pendidikan Islam; tidak dengan mengadopsi sistem dan kelembagaan pendidikan modern Belanda, melainkan dengan memodernisasi sistem dan kelembagaan pendidikan Islam indigenous. Kenapa yang belakangan yang dijadikan alternatif? saya kira alasannya sederhana, walaupun punya makna filosofi mendalam, bahwa pesantren lebih berakar kuat dan mendalam dan, sebab itu, lebih acceplabie bagi banyak kaum Muslimin.
Kedua bentuk eksperimen ini pada dasarnya terus berlanjut hingga dewasa ini. dengan demikian kita melihat dua arus utama, pertama, sistem dan kelembagaan “pendidikan Islam” yang sebenamya merupakan pendidikan umum dengan penekanan seadanya pada aspek-aspek pengajaran Islam. Termasuk ke dalam kategori ini adalah madrasah pasca UUSPN 1989, yang secara eksplisit menyatakan bahwa madrasah-madrasah adalah “sekolah umum” yang berciri keagamaan.
Kedua, adalah sistem dan kelembagaan pesantren yang dalam banyak hal telah dimodernisasi dan disesuaikan dengan tuntutan pembangunan. Modernisasi pesantren yang menemukan momentumnya sejak akhir 1970-an telah banyak mengubah sistem dan kelembagaan pendidikan pesantren. Perubahan cukup mendasar misalnya terjadi pada aspek-aspek tertentu dalam kelembagaan. Dalam hal ini, dalam waktu-waktu terakhir banyak pesantren tidak hanya mengembangkan madrasah sesuai dengan pola Departemen Agama, tetapi juga bahkan mendirikan sekolah-sekolah umum dan universitas umum Dengan perkembangan ini, apa yang tersisa dari aspek kelembagaan pesantren itu adalah boarding system-nya.
Krisis Epistimologis
Modernisme dan modernisasi pendidikan Islam, dilihat dari perspektif perkembangan kebudayaan dan peradaban dunia, kelihatan merupakan suatu keniscayaan. Sistem dan kelembagaan pendidikan tradisional Islam sulit untuk bisa survive tanpa modernisasi. Dan, sebagaimana dikemukakan di atas, modernisme dan modernisasi sistem dan kelembagaan pendidikan Islam itu sebenamya telah berlangsung sejak awal abad ini; dan nampaknya akan terus berlangsung pula di masa-masa mendatang. Tetapi, modernisasi sistem dan kelembagaan pendidikan Islam, seperti dikerangkakan di atas, berlangsung bukan tanpa problem atau kritik. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir ini kritik yang berkembang di tengah masyarakat Muslim, khususnya di kalangan pemikir pendidikan Islam dan pengelola pendidikan Islam itu sendiri kelihatannya semakin vokal.
Salah satu masalah pokok, yang hingga sekarang masih menduduki tempat dalam wacara pemikiran Islam pada umumnya adalah hubungan antara Islam dengan modernisme, modernitas, dan modernisasi itu sendiri. Memang pada tingkat doktrin hampir seluruh pemikir Islam modern sepakat bahwa pada dasarnya tidak ada pertentangan antara Islam dengan modernitas. Persoalannya kemudian athlah jika Islam compatible dengan modernitas, sejauh manakah modernisme dan modernisasi bisa ditoleransi ? Semua ini sebenamya persoalan “klasik” yang belum terselesaikan dalam agenda pemikiran Islam. Sejak awal abad ini hingga masa-masa kontemporer. Dan persoalan ini menjadi berganda ketika dalam beberapa dasawarsa terakhir mulai berkembang pandangan tentang kegagalan modernitas dan modernisme Barat – yang sebagiannya juga diadopsi kaum Muslim, termasuk dalam lapangan pendidikan – dalam memenuhi janji-janjinya untuk mensejahterakan kehidupan manusia baik lahir dan batin melalui kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kegagalan modernisme dan modernitas Barat dengan segala ramifikasinya di kalangan kaum Muslimin sering dikaitkan orang dengan kekeliruan epistimologi ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pasca Aufkarung dan Revolusi Industri di Eropa. Berbeda dengan epistimologi ilmu pada abad pertengahan yang bersifat “theo-sentris”, sebaliknya epistimologi ilmu modern dan kontemporer lebih bersifat “antropo-sentris”.
Jika di kalangan pemikir Barat, paradigma epistimologis “antropo-sentris” hampir sepenuhnya menggusur paradigma “theo-sentris”, sebaliknya di kalangan para pemikir Islam modern terjadi “tarik tambang” yang sangat intens di antara pendukung dari masing-masing paradigma ini. Pemikir “modernis” seperti Muhammad Abduh, Sayyid Amir Ali dan seterusnya, misalnya, mengembangkan epistimologi ilmu yang lebih kurang bersifat “antropo-sentris”, Sebaliknya pemikir “neo-tradisionalis” seperti Sayyed Hussein Nasr, misalnya, setelah mengkritik keras epistimologi Barat dan pemikir modemis Muslim yang bersifat “antropo-sentris” tadi, lantas menganjurkan epistimologi ilmu yang bersifat “theo-sentris”. Refleksi yang cukup jelas pula dari tarik tambang ini dan upaya-upaya untuk keluar dari krisis epistimologis itu adalah kemunculan gagasan tentang “Islamisasi ilmu pengetahuan”, yang hingga kini belum selesai. Gagasan “Islamisasi ihnu pengetahuan” yang diprakarsai pemikir semacam Ismail al-Faruqi, atau S.M.N. Alatas, bahkan kelihatannya cenderung mulai kehilangan sedikit momentumnya. Hal tersebut muncul karena lahirnya istilah ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama (J. Suprayogo : 1999 : 68)
Dalam konteks Indonesia, modernisme dan modernisasi sistem dan kelembagaan pendidikan Islam berlangsung sejak awal ini hingga sekarang ini nyaris tanpa melibatkan wacana epistimologis; modernisme dan modernisasi sistem dan kelembagaan pendidikan Islam cenderung diadopsi dan diimplementasikan begitu saja. Karena itu, modernisme dan modernisasi sistem dan kelembagaan pendidikan Islam di Indonesia berlangsung secara adhoc (sementara) dan parsial. Sebab itulah, modernisasi yang dilakukan kemudian cenderung bersifat involuntif, yakni sekedar perubahan-perubahan yang hanya memunculkan kerumitan-kerumitan baru dari pada terobosan-terobosan yang betul-betul bisa dipertanggungjawabkan, baik dan segi konsep maupun reabilitas, kelestarian dan kontinuitasnya.
Dalam kerangka inilah kita bisa memahami munculnya persoalan berat – tapi mendesak untuk diselesaikan – menyangkut “identitas” atau “distingsi” Islam pada madrasah-madrasah pasca UUSP 1989. Karena madrasah – seperti dikemukakan di atas, adalah sekolah-sekolah umum, lalu dimanakah identitas dan distingsi Islamnya ? Distingsi itu tidak memadai jika hanya terletak pada guru-gurunya yang memulai pelajaran dengan ucapan “Basmalah” dan “Salam”, atau pada adanya mushala atau fasilitas keagamaan lainnya. Sebagai konsekuensinya, distingsi itu harus dicari dan dirumuskan pada tingkat epistimologis dan juga aksiologis ilmu-ilmu yang diajarkan di madrasah. Tetapi, upaya ini bukanlah suatu hal mudah. Persoalannya adalah tentang bagaimana persisnya dan sepatutnya secara epistimologis untuk menjelaskan “ilmu-ilmu empiris” atau “ilmu-ilmu alam” dari kerangka epistimologi Islam tersebut.
PENUTUP
Pendidikan Islam era modernitas, menurut hemat penulis, perlu memasuki diskursus “moralitas, publik”, karena sumber kejahatan moral sudah tidak lagi bersumber dari individu-individu, tetapi sudah berpindah pada jaringan struktur yang sangat kompleks. Untuk itu orientasi Pendidikan Agama dan Pendidikan Islam khususnya tidak lagi cukup kalau hanya menekankan pada kesalehan individual. Mengenal berbagai persoalan-persoalan jalinan struktural lewat pendekatan-pendekatan yang lebih historis-empiris terhadap realitas kehidupan Sehari-hari era modernitas perlu juga dikedepankan, agar anak didik mengenal liku-liku kehidupan modernitas dan sekaligus dapat mencari jalan keluar yang tepat secara agamis berdasar nilai-nilai rohaniyah-ilahiyah.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, 1997. Pendidikan Islam dan Tantangan Modernitas,
Adam, Don. 1970. Education and Modernization, Reading, Mass. : Addison-Wesley Publishing Co. & Pittsburg University.
Azra, Azyumardi, 1997. Pendidikan Islam dan Tantangan Modernitas, Jakarta.
Harbison, F. & C.A. Myers, 1964. Education, Manpower and Growth Strategies of Human Resources Development, New York : McGraw Hill.
Nurchalis Madjid, 2006. Ensiklopedi Nurchalis Madjid, Jakarta : Mizam,
S. Nasution, 1995. Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta : Bumi Aksara,
Shipman, M.D., 1972. Education and Modernization, London: Faber
Suprayogo, 1999. Imam, Reformulasi Visi Pendidikan Islam, Malang : STAIN Press.
http://tadiebpalu.net/?p=474

About Silvia

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply