» » Pengertian-Sejarah Psikologi Agama dan manfaatnya

Pengertian-Sejarah Psikologi Agama dan manfaatnya
Sumber-mu >> Psikologi Agama : Pengertian-Sejarah Psikologi Agama dan manfaatnya - Jika anda memang mencari Materi mengenai Pengertian dan Sejarah Psikologi Agama dan juga manfaatnya dalam perkembangan Dunia Pendidikan, ada juga artikel menarik lainnya seperti Sejarah dan Ruang lingkup Ulumul Qur'an atau bisa juga Teori Belajar Kognitif. Selanjutnya silahkan membaca materi mengenai Pengertian-Sejarah Psikologi Agama dan manfaatnya.
Pengertian-sejarah perkembangan Ilmu Psikologi Agama serta Jasa Manfaatnya bagi Pengembangan Pendidikan dan Dakwah Islam.
A. Pendahuluan
Hubungan manusia dengan sesuatu yang dianggap adikodrati (supernatural) memiliki latar belakang sejarah yang sudah lama dan cukup panjang. Latar belakang ini dapat dilihat dari berbagai pernyataan para ahli yang memiliki disiplin ilmu yang berbeda. Begitu juga dengan para agamawan dari berbagai agama yang ada mengemukakan bahwa berdasarkan informasi kitab suci, hubungan manusia dengan zat yang adikodrati digambarkan sebagai hubungan antara makhluk ciptaan dengan Sang Pencipta.

Kemudian para psikolog mencoba melihat hubungan tersebut dari sudut pandang psikologi. Menurut mereka hubungan manu­sia dengan kepercayaannya ikut dipengaruhi dan juga mempengaruhi faktor kejiwaan. Proses dan sistem hubungan ini menurut mereka dapat dikaji secara empiris dengan menggunakan pendekatan psikologi. Menurut agamawan selanjutnya, bahwa memang pada batas-batas tertentu, barangkali permasalahan agama dapat dilihat sebagai fenomena yang secara empiris dapat dipelajari dan diteliti. Tetapi di balik itu semua ada wilayah-wilayah khusus yang sama sekali tak mungkin atau bahkan terlarang untuk dikaji secara empiris.
Perbedaan pendapat yang dilatarbelakangi perbedaan sudut pandang antara agamawan dan para psikolog agama ini sempat menunda munculnya psikologi agama sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Untuk membahas lebih lanjut mengenai psikologi agama dalam hubungannya terhadap pembentukan jiwa religius dan perkembangan mental-kognitif, maka dalam makalah berikut akan diuraikan secara spesifik tentang Pengertian dan Sejarah Perkembangan Ilmu Psikologi dan Psikologi Agama serta Jasa dan Manfaatnya Bagi Pengembangan Pendidikan dan Dakwah Islam.
B. Pengertian Psikologi dan Psikologi Agama
Para ilmuwan (Barat) menganggap filsafat sebagai induk dari segala ilmu. Sebab filsafat merupakan tempat berpijak kegiatan keilmuan.[1] Dengan demikian psikologi termasuk ilmu cabang dari filsafat. Dalam kaitan ini, psikologi agama dan cabang psikologi lainnya tergolong disiplin ilmu ranting dari filsafat.
1. Pengertian Psikologi
Secara etimologi, kata psikologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “psyche” yang berarti “jiwa”, dan “logos” yang berarti “ilmu”.[2] Jadi secara sederhana, kata psikologi berarti ilmu yang mempelajari tentang jiwa.
Sebagian ahli berpendapat bahwa jiwa adalah daya hidup rohaniah yang bersifat abstrak, yang menjadi penggerak dan pengatur bagi sekalian perbuatan-perbautan pribadi (personal behaviour).[3] Tetapi pada hakikatnya apa yang dimaksud dengan jiwa (ruh) itu, tidak seorang pun tahu dengan sesungguhnya.[4] Karena jiwa adalah sangat abstrak dan tidak dapat diikuti oleh panca indera. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S. al-Isra’: 85
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.
Firman Allah di atas memperingatkan kepada kita bahwa pengetahuan tentang hal ihwal jiwa (ruh) yang dimiliki oleh manusia sangat terbatas yaitu hanya pada gejala jiwa yang tampak secara lahiriah berupa tingkah laku saja, sedangkan di balik itu manusia tidak mampu untuk mengetahuinya. Hakikat jiwa (ruh) itu berada di tangan Allah sendiri.[5] Karena keterbatasan manusia dalam pemahamannya tentang jiwa (ruh), para ahli berbeda pendapat dalam memberikan definisi tentang psikologi.
Secara terminologi, banyak para ahli mengemukakan pengertian psikologi ini. Perbedaan definisi yang diberikan oleh para ahli psikologi terhadap psikologi juga sebagai akibat dari perbedaan sudut pandang atau perbedaan metode yang digunakan dalam pendekatannya.[6] Di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Plato dan Aristoteles
Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir.
b. John Broadus Watson
Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku yang tampak (lahiriah) dengan menggunakan metode observasi yang objektif terhadap rangsang dan jawaban (respon).
c. Wilhelm Wundt
Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari pengalaman-pengalaman yang timbul dalam diri manusia, seperti perasaan panca indera, pikiran, merasa (feeling) dan kehendak.
d. Woodworth dan Marquis
Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari aktivitas individu sejak masih dalam kandungan sampai meninggal dunia dalam hubungannya dengan alam sekitar.
e. Knight dan Knight
Psychology may be defined as the systematic study of experience and behaviour human and animal, normal and abnormal, individual and social.
f. Hilgert
Psychology may be defined as the science that studies the behaviour of men and other animals.
g. Ruch
Psychology is sometimes defined as the study of man, but this definition is too broad. The truth is that psychology is partly biological science and partly a social science, overlapping these two major areas and relating them each other.
h. Singgih Dirgagunarsa
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.
i. Clifford T. Morgan
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan hewan.
j. Garden Murphy
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari respons yang diberikan oleh makhluk hidup terhadap lingkungannya.
Perkembangan definisi-definisi itu masih berlanjut hingga sekarang. Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa secara terminologi psikologi adalah suatu ilmu yang mempelajari berbagai aktivitas psikis manusia yang dimanifestasikan dalam bentuk tingkah laku, dalam hubungannya dengan lingkungannya.
2. Pengertian Psikologi Agama
Psikologi sebagai ilmu terapan (applied science) berkembang sejalan dengan kegunaannya. Psikologi agama adalah salah satu cabang ilmu psikologi yang masih muda. Dalam memberikan definisi tentang psikologi agama, para ahli mengalami kesulitan, karena psikologi agama menggunakan dua kata, yaitu psikologi dan agama, yang keduanya mempunyai pengertian yang berbeda. Sementara untuk mendefinisikan agama tidaklah mudah, apalagi di dunia saat ini kita temukan kenyataan bahwa agama amat beragam. Dan pandangan sese­orang terhadap agama ditentukan oleh pemahamannya ter­hadap ajaran agama itu sendiri. Walau demikian, bukan berarti makna agama itu tidak ada.[7]
Terlepas dari kontroversi tentang makna agama, yang dimaksud dengan agama dalam pembahasan ini adalah agama yang dirasakan dalam hati, pikiran, dan dilaksanakan dalam tindakan serta memantul dalam sikap dan cara menghadapi hidup pada umumnya.
Dengan melihat pengertian psikologi dan agama serta objek yang dikaji, dapatlah diambil pengertian bahwa psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang meneliti dan mene­laah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya.
Melalui pengertian umum seperti itu, paling tidak akan dapat diamati bagaimana fungsi dan peranan keyakinan terhadap agama kepada sikap dan tingkah laku lahir dan batin seseorang. Dengan kata lain, bagaimana pengaruh keberagamaan terhadap proses dan kehidupan kejiwaan sehingga terlihat dalam sikap dan tingkah laku lahir (sikap dan tindakan serta cara bereaksi), serta sikap dan tingkah laku batin (cara berpikir, merasa atau sikap emosi). Dapat juga dikatakan bahwa psikologi agama adalah ilmu yang mengkaji mentalitas manusia yang taat atau tunduk pada suatu kekuatan yang mempengaruhi perasaan, pikiran, perbuatan, dan jalan hidup secara keseluruhan.
Psikologi agama menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat, adalah suatu ilmu yang meneliti pengaruh terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi, dan bertingkah laku, tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya.[8]
Jadi Zakiah Daradjat menambahkan bahwa psikologi agama juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut. Dan ini berarti bahwa psikologi agama termasuk psikologi khusus yang mempelajari sikap dan tingkah laku seseorang yang timbul dari keyakinan yang dianutnya berdasarkan pendekatan psikologi.
Secara garis besarnya dapat dikatakan bahwa, psikologi agama berusaha meneliti secara mendalam mengenai apa dan bagaimanakah manusia itu di kala ia berhadapan dengan sesuatu yang dianggapnya sebagai zat yang adikodrati (supernatural).[9] Jadi tujuan psikologi agama adalah untuk mencapai pengertian tentang manusia itu sendiri.
Jadi dalam kajian psikologi agama, persoalan agama tidak ditinjau dari makna yang terkandung dalam pengertian yang bersifat definitif. Pengertian agama dalam kajian dimaksud lebih bersifat umum, yaitu mengenai proses kejiwaan terhadap agama serta pengaruhnya dalam kehidupan pada, umumnya. Bagaimanapun abstraknya bidang yang menjadi lapangan penelitian psikologi agama, namun aspek-aspek yang dipelajari itu prosesnya dapat diamati sebagai pendorong bagi seseorang dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan keyakinan yang dianutnya. Secara individual, baik kesadaran beragama maupun pengalaman beragama dapat mempengaruhi seseorang.
Sebagai contoh, kita dapat melihat bagaimana seseorang mampu hidup tenang, sabar, dan bahagia sebagai refleksi dari keyakinan agamanya. Keluar dari sikapnya sifat sederhana, suka menolong, berbudi luhur, cinta kepada sesama makhluk dan sebagainya sebagai cerminan sikap agamanya. Sikap keberagamaan manusia selalu mengalami proses sesuai dengan perkembangan jiwanya.
C. Sejarah Perkembangan Psikologi dan Psikologi Agama
1. Sejarah Perkembangan Psikologi
Apabila ditinjau secara historis, dapat dikemukakan bahwa ilmu yang tertua adalah ilmu filsafat.[10] Dari hal ini dapat dipahami bahwa berabad-abad lamanya psikologi berada di bawah pengaruh filsafat. Para pakar psikologi pada waktu itu pada mulanya sudah ahli dalam bidang filsafat, sehingga psikologi yang muncul sangat kental dengan nilai-nilai filosofis. Plato dan Aristoteles adalah dua orang filosof yang mendalami psikologi.[11]
Tetapi lama kelamaan disadari bahwa filsafat sebagai satu-satunya ilmu kurang dapat memenuhi kebutuhan manusia.[12] Maka kemudian pada awalnya ilmu pengetahuan alam memisahkan diri dari filsafat, yang diikuti oleh ilmu-ilmu yang lainnya, begitu juga dengan psikologi. Jadi psikologi yang mula-mula tergabung dalam filsafat, akhirnya memisahkan diri dan pada permulaannya merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam. Hal ini terindikasi dari munculnya tiga aliran psikologi yang dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan alam, yakni psikologi asosiasi, psikologi unsur, dan psikologi fisiologi.
Pada tahapan berikutnya, psikologi berdiri sendiri sebagai ilmu yang mandiri. Dimana psikologi baru diakui menjadi cabang ilmu independen setelah didirikannya laboratorium psikologi pertama di Leipzig, Jerman oleh Wilhelm Wundt yang berkebangsaan Jerman pada tahun 1879.[13] Wundt menyelidiki peristiwa-peristiwa kejiwaan secara eksperimental. Dengan perkembangan ini maka berubahlah psikologi yang tadinya bersifat filosofik menjadi psikologi yang bersifat empirik.
Dalam tahap selanjutnya, psikologi berdiri sebagai cabang ilmu tersendiri dan pengertiannya lebih mengarah pada pengertian tentang ilmu yang mempelajari proses mental yang tampak dalam perilaku. Masa sesudah psikologi menjadi ilmu yang berdiri sendiri merupakan masa di mana gejala kejiwaan dipelajari secara tersendiri dengan metode ilmiah, terlepas dari filsafat dan ilmu faal.[14] Sehingga muncullah berbagai aliran-aliran psikologi guna perluasan pendalaman, dan untuk penyesuaian aplikasinya dalam kehidupan.
Di Indonesia, psikologi merupakan ilmu yang relatif masih sangat muda. Baru setelah merdeka, makin banyak orang mulai tertarik pada psikologi.[15] Mereka yang tertarik pada psikologi mula-mula adalah orang-orang dari kalangan kedokteran dan pendidikan. Namun, dari bidang kedokteranlah psikologi kelak pertama kali akan tumbuh sebagai ilmu yang berdiri sendiri, dengan tokohnya Prof. Dr. R. Slamet Iman Santoso pada awal tahun lima puluhan. Kemudian baru diikuti oleh perkembangan psikologi dalam bidang pendidikan, yang ditandai dengan dibukanya lembaga pendidikan sarjana psikologi yang pertama di Indonesia pada tanggal 3 Maret 1953, di lingkungan Universitas Indonesia.
2. Sejarah Perkembangan Psikologi Agama
Ternyata seabad setelah psikologi diakui sebagai disiplin ilmu yang otonom, para ahli melihat bahwa psikologi pun memiliki keterkaitan dengan masalah-masalah yang menyangkut kehidupan batin manusia yang paling dalam, yaitu agama.[16] Kajian-kajian khusus mengenai agama melalui pendekatan psikologis ini sejak awal-awal abad ke-19 menjadi kian berkembang, sehingga para ahli psikologi yang bersangkutan melalui karya mereka telah membuka lapangan baru dalam kajian psikologi, yaitu psikologi agama.
Untuk mengetahui secara pasti kapan agama diteliti secara psikologi memang agak sulit, sebab dalam agama itu sendiri telah terkandung di dalamnya pengaruh agama terhadap jiwa.[17] Bahkan dalam kitab-kitab suci setiap agama banyak menerangkan tentang proses jiwa atau keadaan jiwa seseorang karena pengaruh agama. Ini membuktikan bahwa kitab suci semua agama sangat berkepentingan dengan proses kejiwaan atau mental individu umatnya masing-masing.
Dalam al-Qur’an, misalnya, terdapat ayat-ayat yang menunjukkan keadaan jiwa orang-orang yang beriman atau sebaliknya, orang-orang kafir, sikap, tingkah laku, do’a-do’a. Contoh konkritnya antara lain adalah kisah nabi Adam dan nabi Ibrahim. Dalam kitab-kitab suci lain pun terdapat proses dan peritiwa keagamaan, seperti yang terjadi dalam diri tokoh agama Budha, Sidharta Gautama, atau dalam agama Shinto yang memitoskan Kaisar Jepang sebagai keturunan matahari.
Yang mula-mula berani mengemukakan hasil penelitiannya secara ilmiah tentang agama ialah Frazer dan Taylor.[18] Kedua tokoh ini membentangkan berbagai macam agama primitif dan menemukan persamaan yang sangat jelas antara berbagai bentuk ibadah pada agama Kristen dan ibadah agama-agama primitif. Selanjutnya, pendekatan ilmiah terhadap psikologi agama baru dimulai pada tahun 1881, ketika G. Stanley Hall sebagai salah seorang ahli psikologi pada masa itu mempelajari peristiwa konversi agama dan remaja.[19]
Penelitian berikutnya secara tegas dilakukan oleh Edwin Diller Starbuck pada tahun 1899 yang menulis buku The Psychology of Religion; an Empirical Study of the Growth of Religius Consciousness.[20] Buku ini membahas pertumbuhan perasaan beragama pada seseorang. Tokoh yang hampir semasa dengan Starbuck adalah George Albert Coe, yang menerbitkan buku The Spiritual Life pada tahun 1900 dan The Psychology of Religion pada tahun 1916. Kedua buku yang ditulis oleh Coe ini memberikan pengaruh yang besar terhadap psikologi agama.
Sementara, James H. Leuba mengumpulkan tidak kurang dari 48 teori tentang definisi agama. Pada tahun 1912 ia menerbitkan buku dengan judul A Psychological Study of Religion. Hampir bersamaan dengan cara yang digunakan oleh Leuba, Stanley Hall juga menjelaskan fakta-fakta agamis dengan tafsiran materialistis. Penelitiannya mempelajari perasaan agama, terutama peristiwa konversi pada remaja dengan menggunakan kuesioner dan mengolahnya dengan teknik yang dipakai untuk statistik.
Permasalahan tingkah laku beragama semakin menarik untuk diteliti, sehingga usaha penelitian terus dikembangkan. Pada tahun 1901, Fluornoy berusaha mengumpulkan semua penelitian psikologis yang pernah dilakukan terhadap agama.[21] Kemudian William James yang mengkaji beberapa tulisan dan biografi pemuka-pemuka agama, dengan karyanya yang monumental The Varieties of Religious Experience pada tahun 1902.
Hasil karya William James itu telah memotivasi para ahli jiwa untuk mengadakan penelitian-penelitian dan memunculkan berbagai tulisan dan karya ilmiah untuk psikologi agama. Pada tahun 1904 mulai terbit majalah "The Journal of Religious Psychology" dan "The American Journal of Religious Psychology and Education" yang terbit sampai tahun 1915. Sementara itu terbit pula buku "The Psychology of Religious Experience " yang ditulis oleh E. S. Ames pada tahun 1910.
Pada tahun 1909 para ahli psikologi mengadakan konferensi di Jenewa dan diantara hasilnya adalah memperkenankan tinjauan psikologis terhadap fakta-fakta keagamaan manusia.[22] Karena penelitian terhadap keberagamaan orang tidak akan menyinggung kehormatan dan kemuliaan agama.
Pada tahun 1911, George M. Straton menerbitkan buku Psychology of Religious Life. Dalam buku tersebut diungkap bahwa sumber jiwa agama adalah konflik dalam diri individu. Dalam perkembangannya, psikologi agama tidak hanya mengkaji kehidupan secara umum, tapi juga masalah-masalah khusus. Pembahasan tentang kesadaran beragama, misalnya dikupas oleh B. Pratt dalam bukunya The Religious Consciousness pada tahun 1920. Tahun 1923, di Jerman terbit pula buku Das Heilige yang ditulis oleh Rudolf Otto, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Seorang sosiolog Perancis yang bernama Emile Durkheim juga menulis buku dengan judul "The Elementary Form of the Religious Life”. Buku tersebut mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan psikologi agama. Pada tahun 1918, Pierre Bovet menerbitkan buku Le Sentiment Religieux et la Psychologie de L'Enfant. Buku tersebut membahas tentang perkembangan jiwa keberagamaan.
Pada tahun 1923 terbit sebuah buku dengan judul An Introduction to the Psychology of Religion yang ditulis oleh Robert H. Thouless, dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Pengantar Psikologi Agama. la menegaskan bahwa agama dapat dipelajari dari segi psikologis dan penelitian ilmiah terhadap keberagamaan individu tidak akan menghilangkan keyakinan beragama individu tersebut. Sementara dari beberapa tokoh psikologi juga mengungkap tentang tingkah laku beragama, seperti Sigmund Freud, yang dikenal orang sebagai bapak psikoanalisis, lebih mengarahkan pandangannya terhadap aspek sosial dari agama. Misalnya, ia menganalisis upacara keagamaan yang dilakukan oleh pemeluk kepercayaan primitif dengan istilah totem dan taboo.
Minat dan perhatian para pakar yang tertarik dengan psikologi agama semakin berkembang dan memunculkan berbagai hasil karya ilmiah. Antara lain, Karl R. Stolz dengan judul bukunya The Psychology of Religion Lifing yang terbit tahun 1937, Elizabeth B. Hurlock yang menyinggung pertumbuhan jiwa agama pada anak dalam bukunya Child Development yang terbit tahun 1942, Paul E. Johnson dengan bukunya Psychology of Religion yang terbit tahun 1945. Kemudian Gordon W. Allport dengan bukunya The Individual and His Religion yang terbit tahun 1950, W.H. Clark dengan karyanya The Psychology of Religion pada tahun 1958 dan pada tahun 1969 telah mengalami ulang cetak sebanyak sepuluh kali. Dimana masing-masing buku tersebut membahas perkembangan jiwa beragama sejak kecil hingga dewasa.
Mengenai psikologi agama yang khusus tentang Islam, terdapat berbagai tulisan. Pada tahun 1955, Abdul Mun’in Abdul Aziz Al-Malighy menulis buku dengan judul Tathawwur al-Syu'ur ad-Diin 'Indat Tifl wa al-Muraahiq (Perkembangan rasa keagamaan pada anak dan remaja). Dan berdasarkan konteks kejiwaan, buku ini dapat dianggap sebagai awal dari munculnya kajian psikologi agama di kalangan ilmuwan muslim modern.[23]
Karya lain yang lebih khusus mengenai psikologi agama adalah Ruh al-Din al-Islamy (Jiwa Agama Islami) karangan Alif Abd al-Fatah tahun 1956. Demikian pula pada tahun 1963 terbit buku Al-Shihah al-Nafsiyah karangan Moustafa Fahmy. Hasan Muhammad Asy-Syarqawy dengan judul bukunya Nahwa 'Ilmi Nqfsi Islamiy yang terbit tahun 1979, Youth and Moral karya Mujtaba Musawi Lari yang terbit tahun 1990, dan Islam’s Treatment for Anxiety and Worry karya Muhammad Salih al-Munajjid yang terbit tahun 1999. Dapat dipahami bahwa tampaknya memang perkembangan psikologi agama di dunia Islam baru tampak sekitar abad ke-20.
Sementara di dataran anak benua Asia, India, juga terbit buku-buku yang berkaitan dengan psikologi agama.[24] Di Indonesia, psikologi agama pada awalnya lebih banyak dikenal oleh kalangan gereja untuk kepentingan pelayanan terhadap jemaat mereka. Di kalangan umat Islam boleh dikatakan yang memperkenalkan psikologi agama sebagai suatu disiplin ilmu adalah Prof Dr. Zakiah Daradjat dengan bukunya Ilmu Jiwa Agama yang terbit pertama kali pada tahun 1970. Karya fenomenal lainnya adalah Agama dan Kesehatan Jiwa oleh Prof. Dr. Aulia (1961), Islam dan Psikosomatik oleh S.S. Djam’an, Pengalaman dan Motivasi Beragama oleh Nico Syukur Dister pada tahun 1982 yang kemudian pada tahun 1989 diterbitkan pula dengan judul Psikologi Agama. Kemudian Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa oleh Dadang Hawari, dan sebagainya.
Pada tahun 1986 Y. B. Mangunwijaya menerbitkan pula buku dengan judul Menumbuhkan Sikap Religius Anak-anak yang berisikan cara memandu pertumbuhan jiwa keagamaan pada anak-anak. Tahun 1992 terbit pula buku Psikologi Hidup Rohani yang ditulis oleh F. Mardi Prasetya. Pembahasan dalam bukunya lebih mengarah kepada segi-segi pelayanan pastoral.
Pada tahun 1997 terbit pula buku Psikologi Agama yang ditulis oleh Jalaluddin. Khusus psikologi Islam dapat dikemukakan antara lain Psikologi Islami yang ditulis oleh Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso terbit tahun 1994, Nuansa-nuansa Psikologi Islami yang ditulis oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir yang terbit pertama kali tahun 2001, serta Kreativitas dalam Perspektif Psikologi Islami karya Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa sejak menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri, perkembangan psikologi agama dinilai cukup pesat, dibandingkan usianya yang masih tergolong muda.
D. Jasa dan Manfaat Psikologi Agama
Agak berbeda dengan proses awal kelahirannya, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka dalam perkembangan selanjutnya psikologi agama mulai mendapat perhatian, tak terkecuali oleh para agamawan yang semula menentangnya. Psikologi agama yang mempelajari masalah kejiwaan yang berhubungan dengan kehi­dupan batin manusia yang paling mendalam, yaitu agama, ternyata dapat dimanfaatkan di berbagai lapangan seperti dalam bidang kedok­teran, bidang pendidikan, bidang dakwah, dan bidang-bidang lainnya. Jadi secara umum, psikologi sangat banyak membantu berbagai pekerjaan dalam berbagai bidang.
Masalah strategi dakwah dan pendidikan agama menyangkut soal psikologis dan kesehatan mental dalam arti luas, maka terdapat hubungan yang erat antara ilmu dakwah dan pendidikan dengan psikologi. Dengan psikologi agama dapat dikembangkan sikap dan tingkah laku keberagamaan umat sesuai dengan peta psikologi dan sifat keberagamaan untuk kemudahan dan ketepatan dalam penyampaian dakwah dan pengajaran agama oleh para da’i dan guru agama Islam.[25]
Sebagai contoh, dimana pelayanan dakwah dan pendidikan agama itu hendaklah disampaikan sesuai dengan masalah, usia, basis, sifat dan tabiat, tingkat dan tugas perkembangan jiwa, situasi dan kondisi, serta kesiapan dan kebutuhan jiwa umat. Dakwah dan pendidikan agama kepada manusia dalam usia prenatal, tidak akan sama dengan dakwah dan pendidikan agama kepada balita (infancy), anak (childhood), remaja (adolescence), dewasa (adulthood), dan manula (old age).[26]
1. Jasa dan Manfaat Psikologi Agama Bagi Pengembangan Pendidikan Islam
Hasil kajian psikologi agama dapat dimanfaatkan dalam berbagai lapangan kehidupan, seperti dalam bidang pendidikan.[27] Dimana dalam lapangan pendidikan psikologi agama dapat difungsikan pada pembinaan moral dan mental keagamaan peserta didik. Selain itu, juga untuk mengetahui perbedaan individu,[28] sehingga dapat memberikan penanganan yang tepat dalam suatu proses pendidikan terhadap individu tersebut.
Berkaitan dengan jasa dan manfaat psikologi agama bagi pengembangan pendidikan Islam, maka dalam pembahasan ini, pendidikan Islam yang dimaksud adalah pendidikan Islam dalam ruang lingkup yang luas.[29] Jadi tidak dibatasi oleh institusi (kelembagaan) ataupun pada lapangan pendidikan tertentu. Sehubungan dengan ini, maka pendidikan Islam erat kaitannya dengan psikologi agama. Bahkan psikologi agama digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam pelaksanaan pendidikan Islam.
Kemudian temuan-temuan psikologi agama tentang perkembangan rasa keagamaan pada anak-anak dan para remaja ternyata juga dapat membantu para pendidik agama. Dengan demikian psikologi agama dapat pula difungsikan sebagai ilmu bantu dalam bidang pendidikan agama. Di kalangan guru-guru agama dalam profesinya sebagai pendidik akan terbantu oleh berbagai temuan psikologi agama ini. Berbagai teori psikologi agama juga sudah memberikan rumusan mengenai proses dan perkembangan rasa keagamaan pada anak didik sesuai dengan tahap perkembangan masing-masing. Hal ini tentunya merupakan teori yang dapat membantu para guru agama membimbing para peserta didik dalam bidang keagamaan.
Secara khusus, maka psikologi agama membantu untuk menjelaskan rangkaian periodesasi perkembangan jiwa beragama manusia mulai dari masa prenatal hingga masa usia lanjut, kemudian sebagai bekal bagi pendidik dalam memilih dan menetapkan materi, metode, dan media secara akurat dan relevan dengan tahap perkembangan jiwa keagamaannya, sehingga tercapainya tujuan pendidikan Islam yang telah ditetapkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa dari segi pendidikan (paedagogis), psikologi agama bermanfaat untuk mengetahui tahap-tahap perkembangan keberagamaan manusia, sehingga dapat dirancang atau diperkirakan bentuk-bentuk dan metode pendidikan yang memungkinkan diterima oleh mereka.
2. Jasa dan Manfaat Psikologi Agama Bagi Pengembangan Dakwah Islam
Di bidang dakwah Islam, psikologi agama berjasa besar dalam menumbuhkan pengertian, kesadaran, serta pengamalan ajaran agama kepada obyek dakwah. Sehingga akan membantu memberikan pandangan agar terjadi perubahan tingkah laku dan sikap mental manusia sesuai dengan yang dikehendaki agama. Dari hal ini dapat dipahami bahwa psikologi agama merupakan landasan dan pedoman bagi metodologi dakwah. Selain itu, psikologi agama juga bermanfaat dalam membantu para juru dakwah dan penerang agama dalam memahami latar belakang hidup naluriah manusia sebagai makhluk individual maupun sebagai makhluk sosial.
Firman Allah Swt dalam Q.S. an-Nahl: 125
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Firman Allah di atas memerintahkan kepada kita agar melakukan dakwah yang dilandasi dengan suatu kebijaksanaan (policy) dan penyampaian dengan lisan yang menarik serta dengan melalui diskusi atau dialog yang berlangsung sebaik mungkin. Dan salah satu kebijakan atau cara penyampaian dalam dakwah Islam tersebut adalah dengan mengtahui tahap-tahap perkembangan keberagamaan yang dilalui oleh individu, yang secara langsung dapat diketahui melalui psikologi agama.
Dalam mengembangkan dakwah Islam, psikologi agama antara lain dapat bermanfaat sebagai berikut:
a. Dapat membantu menyampaikan pesan agama atau dakwah dengan cara yang lebih baik, sehingga dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam realita, dapat dilihat bahwa banyak pesan-pesan atau ajaran keagamaan yang tidak diamalkan, bahkan ditolak seseorang karena penyampai ajaran tersebut tidak memahami individu yang dihadapinya. Atau boleh jadi pesan agama yang suci tidak dapat diterima atau ditolak oleh seseorang, karena penyampai pesan atau pendakwah agama tersebut menyampaikan dengan cara yang tidak tepat.
b. Dapat mengoptimalkan tercapainya tujuan dakwah Islam.
Hal ini dapat dilihat dari contoh, bahwa adanya ditemukan seseorang berpindah agama, karena cara penyampaian dakwah kepadanya sangat tepat atau sangat sesuai dengannya, sekalipun isi dakwah yang disampaikan itu sangat sederhana.
c. Penyampaian pesan-pesan agama atau berdakwah dengan menggunakan psikologi agama, akan meminimalisir efek-efek negatif yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya perbedaan ajaran dan keyakinan antar umat beragama.
Pemahaman agama saja, tanpa memahami psikologi agama dalam masyarakat yang plural atau menganut berbagai kepercayaan, maka dikhawatirkan akan memungkinkan terjadi fanatisme yang berlebihan terhadap suatu agama atau ajaran tertentu. Karena umumnya pemeluk suatu agama atau suatu kepercayaan beranggapan bahwa agamanyalah yang paling benar, yang di luar agamanya salah atau sesat.
E. Penutup
Dapat dipahami bahwa psikologi agama sebagai suatu disiplin ilmu yang diteliti dengan metode ilmiah merupakan ilmu yang masih sangat muda. Psikologi agama sebagai disiplin ilmu yang tumbuh pada abad ke-19 kini semakin banyak diminati orang. Berbeda dengan disiplin ilmu lainnya, ilmu ini meneliti hubungan manusia dengan kepercayaannya (agama) dari sudut kejiwaan.
Dalam usianya yang menjelang seabad ini tampaknya psikologi agama kian diterima oleh berbagai kalangan termasuk para agamawan yang semula menggugat keabsahannya sebagai disiplin ilmu yang otonom. Sejalan dengan hal itu, maka kemajuan dan pengembangan psikologi agama di lapangan pendidikan dinilai banyak membantu pemahaman terhadap permasalahan keagamaan dalam kaitannya dengan tugas-tugas kependidikan. Begitu juga dalam bidang dakwah, seperti dakwah Islam, dimana psikologi agama sangat membantu tokoh agama ataupun ulama dalam menyampaikan ajaran agama. Selain itu, sesuai dengan bidang cakupannya, ternyata psikologi agama termasuk ilmu terapan (applied science) yang banyak manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan psikologi agama dapat digunakan dalam memecahkan berbagai problema kehidupan yang dihadapi manusia sebagai makhluk yang memiliki nilai-nilai peradaban dan nilai moral, khususnya dalam bidang pendidikan dan dakwah Islam.

About Silvia

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

1 comments:

  1. kak, referensi nya apa saja?
    mohon di kirim ke email saya
    astereia_terrance@ymail.com
    terima kasih

    ReplyDelete