» » Arti Pluralisme | Latar Belakang Pluralisme

Arti Pluralisme | Latar Belakang Pluralisme

Arti Pluralisme - Sebelum lebih lanjut membaca mengenai Pluralisme, sobat bisa juga membaca mengenai Pendidikan Nasional.
Secara sederhana pluralisme dapat diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama, dan budaya. Bukan hanya menoleransi adanya keragaman pemahaman tersebut, tetapi bahkan mengakui kebenaran masing-masing pemahaman, setidaknya menurut logika para pengikutnya.
Latar belakang munculnya gerakan Pluralisme Paham ini muncul akibat reaksi dari tumbuhnya klaim kebenaran oleh masing-masing kelompok terhadap pemikirannya sendiri. Persoalan klaim kebenaran inilah yang dianggap sebagai pemicu lahirnya radikalisasi agama, perang dan penindasan atas Nama agama. Konflik horisontal antar pemeluk agama hanya akan selesai jika masing-masing agama tidak menganggap bahwa ajaran agama meraka yang paling benar. Itulah tujuan akhir dari gerakan pluralisme; untuk menghilangkan keyakinan akan klaim kebenaran agama dan paham yang dianut, sedangkan yang lain salah.
Perbedaan pendapat merupakan fenomena lazim, atau fenomena alamiah, termasuk perbedaan pendapat baik yang bersifat substantif maupun skriptural. Tatkala substansi yang menjadi landasan perbedaan cara pandang terhadap suatu pendirian atau keyakinan, komitmen terhadap kebenaran atau keyakinan yang dipilih akan (harus) menjadi syarat agar perbedaan itu bisa bersanding dalam kedamaian. Sedangkan tatkala perbedaan pendapat diakibatkan oleh penggunaan definisi leksikal atau penafsiran kontekstual yang berbeda, upaya mencari titik temunya harus dimulai dari penggunaan dan pemahaman semantik serta rujukannya yang sama. Diskursus yang muncul akhir-akhir ini berkenaan dengan beberapa konsep keagamaan dan pengamalannya bisa diperuncing dengan salah satu atau semua penyebab tersebut -termasuk yang menyangkut konsep pluralisme agama-- baik yang menyangkut masalah antaragama maupun intraagama.
Pluralisme dalam agama.
Dalam konteks pluralisme agama, dialog yang dilengkapi dengan toleransi tetapi tanpa sikap pluralistik tidak akan menjamin tercapainya kerukunan antarumat beragama yang langgeng. Dalam kaitan dengan itu, secara garis besar pengertian konsep pluralisme dapat diketengahkan dengan uraian sebagai berikut.
Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat kita jumpai di mana-mana. Di dalam masyarakat tertentu, di kantor tempat kita bekerja, di sekolah tempat kita belajar, bahkan di pasar tempat kita berbelanja. Tapi seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebinekaan.
Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras, dan bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Misalnya kota New York. Kota ini adalah kota kosmopolitan. Di kota ini terdapat orang Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Budha, bahkan atheis. Seakan seluruh penduduk dunia berada di kota ini. Namun interaksi positif antar penduduk ini, khususnya di bidang agama, sangat minimal, kalaupun ada.
Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut ''kebenaran'' atau ''nilai'' ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya. Sebagai contoh, ''kepercayaan/ kebenaran'' yang diyakini oleh bangsa Eropa bahwa ''Colombus menemukan Amerika'' adalah sama benarnya dengan ''kepercayaan/kebenaran'' penduduk asli benua tersebut yang menyatakan bahwa ''Colombus mencaplok Amerika.''
Sebagai konsekuensi dari paham relativisme agama, doktrin agama apa pun harus dinyatakan benar. Atau tegasnya ''semua agama adalah sama'' karena kebenaran agama-agama, walaupun berbeda-beda dan bertentangan satu dengan lainnya, tetap harus diterima. Untuk itu seorang relativis tidak akan mengenal, apalagi menerima, suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam paham pluralisme terdapat unsur relativisme. Yakni unsur tidak mengklaim pemilikan tunggal(monopoli) atas suatu kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran tersebut kepada pihak lain. Paling tidak, seorang pluralis akan menghindari sikap absolutisme yang menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain.
Oleh karena itu, banyak orang enggan menggunakan kata pluralisme agama, karena khawatir akan terperangkap dalam lingkaran konsep relativisme agama. Sebagaimana diketahui, konsep relativisme yang berawal pada abad kelima sebelum masehi, yakni di masa Protagoras, seorang sofis Yunani. Konsep tersebut bertahan sampai masa kini, khususnya dalam pendekatan ilmiah yang dipakai oleh para ahli antropologi and sosiologi. Konsep ini menerangkan bahwa apa yang dianggap baik atau buruk, benar atau salah, adalah relatif,tergantung kepada pendapat tiap individu, keadaan setempat, atau institusi sosial dan agama. Oleh karena itu konsep ini tidak mengenal kebenaran absolut atau kebenaran abadi.
Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama atau kepercayaan baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dan beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut. Dalam sejarah, kita dapati sekian banyak agama sinkretik. Fenomena ini tidak terbatas pada masa lalu. Hingga sekarang hal itu masih kita jumpai.
Mani, pencetus agama Manichaeisme pada abad ketiga, dengan cermat mempersatukan unsur-unsur tertentu dari ajaran Zoroaster, Budha, dan Kristen. Bahkan apa yang dikenal sebagai New Age Religion (Agama Masa Kini), adalah wujud nyata dan perpaduan antara praktik yoga Hindu, meditasi Budha, tasawuf Islam, dan mistik Kristen. Demikian pula Bahaisme, yang didirikan pada pertengahan abad ke-19 sebagai agama persatuan oleh Mirza Husein Ali Nuri yang dikenal sebagai Baha Ullah. Sebagian elemen agama baru yang didirikan di Iran ini diambil dari agama Yahudi, Kristen, dan Islam.
Model pluralisme yang bersyaratkan komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing telah dicontohkan oleh Rasullah SAW, baik dalam tuturan maupun tindakan yang patut kita tauladani. Dalam meneladani beliau tentu saja kita diharapkan tidak terpaku pada formalitas lahiriah dan apalagi bila karena itu melupakan esensi ajarannya.
Kita, misalnya, harus menyadari bahwa ajaran beliau berorientasi kepada usaha persatuan kemanusiaan, sebagaimana firman Allah:
يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير
Artinya : ''Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (berasal) dari seorang lelaki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal (bantu membantu). Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.'' (QS al-Hujurat :13)

Tentu saja patut dipahami di sini bahwa persatuan yang diajarkan itu tidak melebur perbedaan, tapi tetap menghormati perbedaan: karena setiap kelompok telah memilih jalan dan tatanan hidup mereka, sehingga mereka harus berpacu mencapai prestasi kebajikan.
وأنزلنا إليك الكتاب بالحق مصدقا لما بين يديه من الكتاب ومهيمنا عليه فاحكم بينهم بما أنزل الله ولا تتبع أهواءهم عما جاءك من الحق لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا ولو شاء الله لجعلكم أمة واحدة ولكن ليبلوكم في ما آتاكم فاستبقوا الخيرات إلى الله مرجعكم جميعا فينبئكم بما كنتم فيه تختلفون
Artinya : Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (QS al-Ma'idah [5]:48)

Tauladan yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW telah tumbuh dalam kehidupan masyarakat kita dan kekaguman terhadap itu diperlihatkan juga oleh pimpinan agama dan kepercayaan lain. Agar tauladan itu berdampak pada kehidupan keagamaan kita, ada dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, kita harus mampu mensosialisasikan semangat ajaran serta keteladanan Nabi Muhammad SAW.
Toleransi dan moderasi yang beliau ajarkan harus senantiasa menjadi acuan dan pedoman dalam interaksi kita dengan umat agama lain. Kita seyogyanya tidak terpengaruh oleh sikap, pendapat, dan pendekatan umat negara lain yang telah dibebani oleh sejarah konflik dan permusuhan yang ikut mewarnai budaya mereka. Konflik yang berkepanjangan, apalagi kontak fisik yang mengorbankan jiwa, tidak pernah terjadi di negeri kita. Oleh karena itu kedamaian dalam sejarah hubungan antarumat beragama di Indonesia harus tecermin dalam interaksi kita.
Kita tidak saja dituntut untuk bersama-sama mengoreksi citra dan kesan keliru yang boleh jadi tergambar dalam benak masing-masing, tapi lebih dari itu, kita harus memberi contoh dalam upaya menjalin kerja sama konstruktif, jauh dari perdebatan teologis doktrinal yang selalu berakhir dengan jalan buntu. Kerja sama tersebut antara lain adalah penanggulangan aneka ragam eksploitasi, kemerosotan moral, kemiskinan, dan kebodohan yang hanya dapat sukses apabila kita sepakat untuk mencari titik-titik temu dan persamaan.
Dalam wahyu Ilahi yang disampaikan oleh Nabi, titik-titik temu itu dinamakan kalimatun sawa.
قل يا أهل الكتاب تعالوا إلى كلمة سواء بيننا وبينكم ألا نعبد إلا الله ولا نشرك به شيئا ولا يتخذ بعضنا بعضا أربابا من دون الله فإن تولوا فقولوا اشهدوا بأنا مسلمون
Artinya : ''Katakanlah: Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang Muslim yang berserah diri (kepada Allah).'' (QS Ali Imran [3]:64)

Kesimpulan
Dari uraian pengertian dasar tentang pluralisme itu dapatlah digarisbawahi di sini, bahwa apabila konsep pluralisme agama hendak diterapkan di Indonesia maka ia harus bersyaratkan satu hal, yaitu komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing. Seorang pluralis, dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama, tidak saja dituntut untuk membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya. Tapi yang terpenting ia harus committed terhadap agama yang dianutnya. Hanya dengan sikap demikian kita dapat menghindari relativisme agama yang tidak sejalan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Referensi
Badri, Yatim. Prof.Dr. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, 2003
www.muslimheritage.com, online pada 17-12-2010, pluralism agama.
milis PPI India, www.ppi-india.org, artikel tentang pluralisme agama dalam tulisan
Dr.Alwi Shihab tahun 2000. 

About Silvia

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply